[Oktober]
Cinta Tak Harus Memiliki
Kamu tahu? GILA. Cuma
kata itu yang bisa aku ambil sebagai penggambaran yang pas untuk satu ungkapan
itu. Ungkapan yang mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki. GILA?
Yah..GILA… karena buatku, bagaimana aku
bisa mencintai tanpa memiliki. Bagaimana kamu dapat merasakan cinta, bila
raganya saja tak dapat kau rengkuh. Dan yah… aku rasa aku GILA. Karena
nyata-nyata aku mencintai kamu, yang tak pernah sedikitpun benar-benar ku
miliki.
Awal kita jumpa, masih
aku ingat jelas. SMP favorit. Kelas ungulan. Hey… jaman-jaman cinta monyet
bukan…? Dan si monyet terus bergelantungan di pohon, sedang cintaku terus mengakar
di sini. #eaaak!!! (OK! Itu lebay, kawan. LUPAKAN).
Mungkin kamu belum
tahu, alasan aku masuk SMP favorit ini bukan karena kamu, karena memang sebelumnya
jangankan mengenalmu.. Mengenal namamu saja tak pernah… kecuali kenyataan bahwa
namamu sama dengan nama pembawa acara kuis Siapa Berani di layar kaca.
Alasan satu-satunya
yang ku ingat adalah…November. Cowok tinggi yang sebenernya udah aku suka dari
masa-masa merah putih. Dulu dia bilang mau masuk sekolah ini mengikuti jejak
kakaknya.. tapi sayang karena karena beberapa hal, dia malah masuk di SMP
sebelah. Ahahha… sayang banget. Tapi aku tak pernah menyesal untuk itu.. karena
disini aku bertemu denganmu.
Cinta emang bukan bola,
yang bisa menggelinding dengan mudah dari satu hati ke hati yang lain, tapi ini
kan cinta monyet, boleh donk aku gantungin ke dari dahan yang satu ke dahan
yang lain? Maunya!
Tapi rupanya, cintaku
tak pernah nyangkut di dahan kamu. Bukannya kita tak dekat, kita malah sangat
dekat, kamu OSIS, aku juga. Boleh dibilang kita cukup banyak menghabiskan waktu
bersama, sekalipun mungkin lebih banyak kamu ngejailinnya. Tapi justru itu yang
akhirnya buat aku sadar, mungkin karena terlalu dekatnya cinta tak pernah
terlihat.
Dua taon sekelas,
selama itu pula kamu malah sibuk ngejar cinta si bintang kelas. Ahh.. siapa pula
yang tak menyukainya, bahkan Agustus dan Maret juga tergila-gila padanya. Selain
dianugrahi otak yang brilliant dan paras ayu, doi juga memiliki kepribadian
yang menarik, seperti cukup alasan buatku untuk mundur dengan tertib.
Aku masih sering
memperhatikanmu, tidak dari dekat lagi, Tapi dari sebelah kelasmu. Karena aku
sadar, harus ada jarak agar aku terihat. Tapi tiap hari Tuhan selalu bermurah
hati, tak perlu repot-repot ke kelasmu yang kebetulan bersebelahan dengan
kelasku, karena kamu sendiri yang dengan senang hati selalu nangkring di
kelasku tiap bel istirahat menjerit. Dan aku hanya mampu tersenyum. Menyimpan
getir dalam hati, karena alasanmu jelas bukan untukku, tapi masih untuk si bintang
kelas. Ahh… nampaknya jarak itu masih terlalu dekat untuk aku terlihat.
Atau mungkin sinarku
saja yang terlalu redup?
Tak perlu cari tahu
jawabnya, karena itu semua sudah tidak penting lagi sejak kamu terang-terangan
membaiatkan cinta pada si bintang kelas. Dan aku harus menerima kenyataan
seperti finalis AFI dan Idol yang harus pulang malam itu. Yah… akupun
tereleminasi.
Mungkin kamu tak tahu
bahwa bagian terperih dari segmen “cinta tak harus memiliki” versiku ini adalah
aku selalu berada didekatmu. Its seem like…, heemm…susah mencari persamaannya.
Well, buatku ini seperti menyayatkan luka segaris demi segaris dengan tangan
sendiri. Lebih sakit dibanding orang lain yang menggoresnya. Serius!
******
Kita masih saja dekat,
dengan konteks yang masih sama. Bersahabat. Dan tak lebih, seperti statusmu
dengan si bintang kelas beberapa bulan lalu.
Entah harus bahagia
atau apa saat aku tau kalian sudah putus, karena nyatanya ada bagian lain yang
lebih menyakitkan dari segmen cinta tak harus memiliki yang kusebutkan sebelumnya.
Bahwa nyatanya cintamu tak bahagia ternyata jauh lebih menyakitkan dibanding
terus berada disampingnya yang berstatus milik orang lain. Mungkin kamu tak
pernah bercerita padaku tentang itu, tapi kamu tak bisa menipu penglihatan
mataku. ( ya.. ya.. ya.. aku tahu, kamu
akan protes, oke aku ralat) kamu tak bisa menipu penglihatan mata SIPITku. ( Puas?, well kamu senang, aku juga akan
demikian J )
Tapi apa yang bisa
kuperbuat? Tentu tak banyak. Aku hanya bisa selalu berada di dekatmu, itupun
juga tak bisa lama. Kamu melanjutkan studi putih abu-abumu di sidoarjo sana.
Dan aku beserta si bintang kelas tetap disini. Dan kami satu sekolah, kalau kau
mau tahu.
Beberapa waktu kita lost contact. Tapi aku cukup senang,
karena saat liburan tiba kamu tak pernah lupa menyempatkan diri berkunjung ke
rumah. Mungkin ke rumah si bintang kelas juga. J kamu memang sahabat
yang baik, sekaligus mantan yang baik pula.
******
Masih ingat,
kata-kataku tentang jarak? Bahwa mungkin seseorang butuh jarak untuk terlihat.
Seperti cerita ini. Butuh spasi agar kau mengerti.
Namun, tiba-tiba aku
tak berani menyimpulkan hipotesisku sendiri saat siang itu kamu bilang “ik hou
van jou”. Aku lebih suka mendengarmu berdalih kebanyakan minum obat cacing atau
apalah sejenisnya seperti kelakarmu di SMS, daripada kamu memperjelas
pernyataanmu dengan memutarkan lagu Flanella yang sebelumnya sudah kamu dan Februari
persiapkan di rumah Januari.
Aku masih lebih suka
seperti ini, bersahabat denganmu dan mencintaimu dalam diam. Walau tak
kupungkiri rasanya bahagia luar biasa. Aku menolakmu. Dan kita Jadian. Lucu,
seperti cerita FTV saja, tapi begitulah kita. Bagaimana bisa kita jadian
setelah aku tolak kamu? Bahkan kukatakan “aku sayang kamu” saja tidak pernah. Hemm…
biar itu jadi rahasia termanis kita saja. Atau mungkin, hanya rahasiamu saja?
Karena sebenarnya masih terbesit ragu dalam dada, bahwa kita tetap sekedar
bersahabat dengan baiknya. Maaf masih selalu mempertanyakannya.
*****
Aku lulus SMA, kamu
juga. Kamu di terima di universitas ternama di Surabaya, sedangkan aku hanya
tersangkut di PT. Swasta saja. Dua tahun aku di Surabaya. Kita hanya saling
berbagi cerita via telpon. Selalu kamu bilang belum ada, saat aku tanya mana
pacarmu. Menggelitikku untuk tersenyum simpul. Apa karena “ik hou van jou” itu?
Jelas bukan, karena di detik berikutnya kamu bilang itu hanya cerita masa lalu.
Dan kita tertawa terbahak-bahak. Entah bagian mana yang lucu, aku tak tahu. Dan
tak mau tahu.
Malam itu, untuk
pertama kalinya kita bertemu lagi, setelah bertahun-tahun hanya
berbincang-bincang lewat Hape. Kamu main ke kosanku. Dengan kaos lengan panjang
abu-abu, maaf kalau salah, lampu kosan remang-remang waktu itu. Aku melompat
kegirangan saat pertama kali melihat sosokmu di depan pintu pagar. Seperti anak
kecil yang habis dibelikan mainan yang telah lama diidam-idamkannya. Dan
wajahku bersemu merah saat kamu menyadari hal itu. Iya.. aku kangen kamu. Lebih
dari rasa kangenku ma pacar sendiri, yang ternyata tanpa ku sadari sudah
menunggu di depan pagar selama setengah jam saat kita bersenda gurau mengenang
masa-masa SMP, malam itu.
Sampai saat ini aku
masih sering bertanya-tanya, seriuskah “ik hou van jou”mu siang itu? Aku tak
berani berharap banyak..hanya ingin tahu saja. Tapi saking bahagianya malam itu
bertemu lagi denganmu aku lupa menanyakannya. Dan masih ingin mendengar
jawabnya langsung dari kamu, sekalipun Februari sudah mati-matian menegaskannya
padaku. Tapi kamu tahu… aku butuh itu dari kamu.
Karena dengan senang
hati aku akui, sampai detik ini, aku masih mencintaimu dalam diam, Bahkan aku
tak lagi butuh jarak untuk menjauh agar kau melihat cintaku karena kau sendiri
sekarang takkan mampu kurengkuh. Pula tak butuh spasi agar kau mengerti cerita
ini. Tapi aku masih senang untuk menjadi GILA dengan terus mencintaimu tanpa
harus memiliki.
Karena tak pernah
terbesit sedikit bahwa itu kali pertama sekaligus terakhir kita bertemu,
bercanda dan tersenyum bersama. Bagaimana tidak, 2 minggu sebelum ramadhan
tahun lalu kita masih beceloteh ditelepon, kamu masih saja mengolok-ngolokku
seperti masa-masa SMP dulu, kamu bilang akan menyempatkan waktu datang ke acara
renuian sebelum lebaran nanti. Bahkan kamu pun sempat berjanji akan main-main
lagi ke tempatku. Tak apalah… mungkin sudah waktunya kamu untuk menunggu. Menunggu
ku bermain ke pusaramu.
Oktober, Ik hou Van
Jou…
***( R.I.P * H.C.A )***
Pamekasan,
10 July 2012
#phie