Rabu, 11 Juli 2012


[Oktober]
Cinta Tak Harus Memiliki



Kamu tahu? GILA. Cuma kata itu yang bisa aku ambil sebagai penggambaran yang pas untuk satu ungkapan itu. Ungkapan yang mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki. GILA? Yah..GILA…  karena buatku, bagaimana aku bisa mencintai tanpa memiliki. Bagaimana kamu dapat merasakan cinta, bila raganya saja tak dapat kau rengkuh. Dan yah… aku rasa aku GILA. Karena nyata-nyata aku mencintai kamu, yang tak pernah sedikitpun benar-benar ku miliki.

Awal kita jumpa, masih aku ingat jelas. SMP favorit. Kelas ungulan. Hey… jaman-jaman cinta monyet bukan…? Dan si monyet terus bergelantungan di pohon, sedang cintaku terus mengakar di sini. #eaaak!!! (OK! Itu lebay, kawan. LUPAKAN).

Mungkin kamu belum tahu, alasan aku masuk SMP favorit ini bukan karena kamu, karena memang sebelumnya jangankan mengenalmu.. Mengenal namamu saja tak pernah… kecuali kenyataan bahwa namamu sama dengan nama pembawa acara kuis Siapa Berani di layar kaca.

Alasan satu-satunya yang ku ingat adalah…November. Cowok tinggi yang sebenernya udah aku suka dari masa-masa merah putih. Dulu dia bilang mau masuk sekolah ini mengikuti jejak kakaknya.. tapi sayang karena karena beberapa hal, dia malah masuk di SMP sebelah. Ahahha… sayang banget. Tapi aku tak pernah menyesal untuk itu.. karena disini aku bertemu denganmu.

Cinta emang bukan bola, yang bisa menggelinding dengan mudah dari satu hati ke hati yang lain, tapi ini kan cinta monyet, boleh donk aku gantungin ke dari dahan yang satu ke dahan yang lain? Maunya!

Tapi rupanya, cintaku tak pernah nyangkut di dahan kamu. Bukannya kita tak dekat, kita malah sangat dekat, kamu OSIS, aku juga. Boleh dibilang kita cukup banyak menghabiskan waktu bersama, sekalipun mungkin lebih banyak kamu ngejailinnya. Tapi justru itu yang akhirnya buat aku sadar, mungkin karena terlalu dekatnya cinta tak pernah terlihat.

Dua taon sekelas, selama itu pula kamu malah sibuk ngejar cinta si bintang kelas. Ahh.. siapa pula yang tak menyukainya, bahkan Agustus dan Maret juga tergila-gila padanya. Selain dianugrahi otak yang brilliant dan paras ayu, doi juga memiliki kepribadian yang menarik, seperti cukup alasan buatku untuk mundur dengan tertib.

Kelas Tiga
Aku masih sering memperhatikanmu, tidak dari dekat lagi, Tapi dari sebelah kelasmu. Karena aku sadar, harus ada jarak agar aku terihat. Tapi tiap hari Tuhan selalu bermurah hati, tak perlu repot-repot ke kelasmu yang kebetulan bersebelahan dengan kelasku, karena kamu sendiri yang dengan senang hati selalu nangkring di kelasku tiap bel istirahat menjerit. Dan aku hanya mampu tersenyum. Menyimpan getir dalam hati, karena alasanmu jelas bukan untukku, tapi masih untuk si bintang kelas. Ahh… nampaknya jarak itu masih terlalu dekat untuk aku terlihat.

Atau mungkin sinarku saja yang terlalu redup?

Tak perlu cari tahu jawabnya, karena itu semua sudah tidak penting lagi sejak kamu terang-terangan membaiatkan cinta pada si bintang kelas. Dan aku harus menerima kenyataan seperti finalis AFI dan Idol yang harus pulang malam itu. Yah… akupun tereleminasi.

Mungkin kamu tak tahu bahwa bagian terperih dari segmen “cinta tak harus memiliki” versiku ini adalah aku selalu berada didekatmu. Its seem like…, heemm…susah mencari persamaannya. Well, buatku ini seperti menyayatkan luka segaris demi segaris dengan tangan sendiri. Lebih sakit dibanding orang lain yang menggoresnya. Serius!

******

Kita masih saja dekat, dengan konteks yang masih sama. Bersahabat. Dan tak lebih, seperti statusmu dengan si bintang kelas beberapa bulan lalu.

Entah harus bahagia atau apa saat aku tau kalian sudah putus, karena nyatanya ada bagian lain yang lebih menyakitkan dari segmen cinta tak harus memiliki yang kusebutkan sebelumnya. Bahwa nyatanya cintamu tak bahagia ternyata jauh lebih menyakitkan dibanding terus berada disampingnya yang berstatus milik orang lain. Mungkin kamu tak pernah bercerita padaku tentang itu, tapi kamu tak bisa menipu penglihatan mataku. ( ya.. ya.. ya.. aku tahu, kamu akan protes, oke aku ralat) kamu tak bisa menipu penglihatan mata SIPITku. ( Puas?, well kamu senang, aku juga akan demikian J )

Tapi apa yang bisa kuperbuat? Tentu tak banyak. Aku hanya bisa selalu berada di dekatmu, itupun juga tak bisa lama. Kamu melanjutkan studi putih abu-abumu di sidoarjo sana. Dan aku beserta si bintang kelas tetap disini. Dan kami satu sekolah, kalau kau mau tahu.

Beberapa waktu kita lost contact. Tapi aku cukup senang, karena saat liburan tiba kamu tak pernah lupa menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Mungkin ke rumah si bintang kelas juga. J kamu memang sahabat yang baik, sekaligus mantan yang baik pula.

******

Masih ingat, kata-kataku tentang jarak? Bahwa mungkin seseorang butuh jarak untuk terlihat. Seperti cerita ini. Butuh spasi agar kau mengerti.

Namun, tiba-tiba aku tak berani menyimpulkan hipotesisku sendiri saat siang itu kamu bilang “ik hou van jou”. Aku lebih suka mendengarmu berdalih kebanyakan minum obat cacing atau apalah sejenisnya seperti kelakarmu di SMS, daripada kamu memperjelas pernyataanmu dengan memutarkan lagu Flanella yang sebelumnya sudah kamu dan Februari persiapkan di rumah Januari.

Aku masih lebih suka seperti ini, bersahabat denganmu dan mencintaimu dalam diam. Walau tak kupungkiri rasanya bahagia luar biasa. Aku menolakmu. Dan kita Jadian. Lucu, seperti cerita FTV saja, tapi begitulah kita. Bagaimana bisa kita jadian setelah aku tolak kamu? Bahkan kukatakan “aku sayang kamu” saja tidak pernah. Hemm… biar itu jadi rahasia termanis kita saja. Atau mungkin, hanya rahasiamu saja? Karena sebenarnya masih terbesit ragu dalam dada, bahwa kita tetap sekedar bersahabat dengan baiknya. Maaf masih selalu mempertanyakannya.

*****

Aku lulus SMA, kamu juga. Kamu di terima di universitas ternama di Surabaya, sedangkan aku hanya tersangkut di PT. Swasta saja. Dua tahun aku di Surabaya. Kita hanya saling berbagi cerita via telpon. Selalu kamu bilang belum ada, saat aku tanya mana pacarmu. Menggelitikku untuk tersenyum simpul. Apa karena “ik hou van jou” itu? Jelas bukan, karena di detik berikutnya kamu bilang itu hanya cerita masa lalu. Dan kita tertawa terbahak-bahak. Entah bagian mana yang lucu, aku tak tahu. Dan tak mau tahu.

Malam itu, untuk pertama kalinya kita bertemu lagi, setelah bertahun-tahun hanya berbincang-bincang lewat Hape. Kamu main ke kosanku. Dengan kaos lengan panjang abu-abu, maaf kalau salah, lampu kosan remang-remang waktu itu. Aku melompat kegirangan saat pertama kali melihat sosokmu di depan pintu pagar. Seperti anak kecil yang habis dibelikan mainan yang telah lama diidam-idamkannya. Dan wajahku bersemu merah saat kamu menyadari hal itu. Iya.. aku kangen kamu. Lebih dari rasa kangenku ma pacar sendiri, yang ternyata tanpa ku sadari sudah menunggu di depan pagar selama setengah jam saat kita bersenda gurau mengenang masa-masa SMP, malam itu.

Sampai saat ini aku masih sering bertanya-tanya, seriuskah “ik hou van jou”mu siang itu? Aku tak berani berharap banyak..hanya ingin tahu saja. Tapi saking bahagianya malam itu bertemu lagi denganmu aku lupa menanyakannya. Dan masih ingin mendengar jawabnya langsung dari kamu, sekalipun Februari sudah mati-matian menegaskannya padaku. Tapi kamu tahu… aku butuh itu dari kamu.

Karena dengan senang hati aku akui, sampai detik ini, aku masih mencintaimu dalam diam, Bahkan aku tak lagi butuh jarak untuk menjauh agar kau melihat cintaku karena kau sendiri sekarang takkan mampu kurengkuh. Pula tak butuh spasi agar kau mengerti cerita ini. Tapi aku masih senang untuk menjadi GILA dengan terus mencintaimu tanpa harus memiliki.

Karena tak pernah terbesit sedikit bahwa itu kali pertama sekaligus terakhir kita bertemu, bercanda dan tersenyum bersama. Bagaimana tidak, 2 minggu sebelum ramadhan tahun lalu kita masih beceloteh ditelepon, kamu masih saja mengolok-ngolokku seperti masa-masa SMP dulu, kamu bilang akan menyempatkan waktu datang ke acara renuian sebelum lebaran nanti. Bahkan kamu pun sempat berjanji akan main-main lagi ke tempatku. Tak apalah… mungkin sudah waktunya kamu untuk menunggu. Menunggu ku bermain ke pusaramu.

Oktober, Ik hou Van Jou…

***( R.I.P * H.C.A )***




Pamekasan, 10 July 2012
#phie