Jumat, 18 Mei 2012

Today is 2.29


Today is 2.29


Pagi ini ( kalau sudah bisa disebut pagi ) sang surya belum berkenan membagi hangatnya pada dunia. Entah karena langit masih tertutup mendung atau apa. Ayam jago milik pak Harto pun belum pula terjaga saat aku beranjak pergi tadi. Aku melirik jam tanganku sekilas. Terang saja ini masih jam 4. Tapi tak apa. Jarak pasar dengan rumah lumayan jauh. Bisa makan waktu setengah sampai tiga per empat jam-an, kalau aku mengandalkan jasa becak.

Kau tahu? Agak susah menemukan Daisy di sini. Aku harus mengelilingi pasar berjam-jam. Menyusuri para pedagang-pedangang daging dan ikan. Memaksa tanganku mati-matian agar tak menutup hidungku yang gatal karena bau amis yang menusuk. Katamu itu tak sopan, jadi dengan langkah cepat aku hentakkan kaki agar cepat keluar dari kawasan itu. Kesalahan terbesarku adalah aku tak pandai menghafal letak suatu tempat, bahkan mengingat namanya saja aku tak mampu. Beruntung hari ini aku membawa telepon genggam, sehingga aku bisa menghubungi pedagang bunga langgananmu itu dan memintanya saja yang menemuiku. Karena sudah hampir satu jam lebih aku berputar-putar di tempat yang sama namun belum juga bisa menemukan posisinya.
Memang sudah lama aku tak kemari. Ah… sebenanya itu bukan alasan. Aku tak berani menjamin, kalaupun tiap hari aku mampir aku dapat mengingat tempat itu dengan benar, kau tahu kan betapa buruknya daya ingatku? Tapi lihat, aku tak pernah melupakan hari ini.
Semua bahan sudah ku dapat. Tepung, gula, telur, backing powder, vanili, bubuk coklat, dan yang lainnya. Hari ini aku akan membuat black forrest. Jangan keburu tertawa, tiga bulan lalu aku sudah mengikuti kursus masak diam-diam tanpa sepengetahuanmu. Paling tidak, aku ingin bisa membuat roti favoritmu ini. Aku memang belum ahli, tapi kau lihat saja, aku banyak kemajuan. Sekarang aku sudah bisa membedakan jahe dan lengkuas. Dua buah rempah yang selalu kau gunakan sebagai senjata untuk mengolok-ngolok kemampuan masakku, yang memang di bawah rata-rata.
Bagaimanapun rasanya nanti, kau harus berjanji akan menghabiskannya, karena aku membuatnya dengan cinta. Katamu itu yang terpenting, bukan? Tak peduli nasi yang ku masak gosong, telur yang ku buat keasinan, atau sayur asam itu mendadak berubah menjadi  sayur asin, kau tetap menghabiskannya dengan tersenyum. Kali ini juga, yah? Tapi tenang saja, aku pasti membuatnya dengan sepenuh hati. Ini kue tart buatanku yang pertama. Aku takkan membuatmu kecewa Mas. Kau tunggu saja di sana.
Lihat ini sudah jam berapa?
Jam dinding yang kau taruh di samping rak piring mencibirku. Katanya aku takkan bisa sampai tepat waktu.  Sayang sekali aku belum berhasil menemukan dimana kau meletakkan tangga lipatmu. Sudah ku cari di gudang. Garasi. Tapi tak ada. Kamu membeli rumah yang terlau besar. Kalau saja aku bisa menjangkaunya dengan tangan sudah ku copot baterainya dari tadi. Ahh… berpikir apa aku ini! Kalau terus meracau seperti ini, kue-mu yang baru ku masukkan dalam oven ini, benar-benar takkan selesai tepat waktu.
Ku stel oven pada suhu yang tertera di resep. Aku harus tetap menyontek resep di buku masakan kalau mau kue tart-mu ini berhasil.
Hemm… maklumilah istrimu yang tak tahu masak ini Mas,” bisikku dalam hati.
Ku tinggalkan tart-mu dalam oven sembari mematut diri. Yah aku ingin kau melihat aku tampil cantik hari ini.  Ku pakai gaun yang kau belikan khusus untuk hari kita ini. Sekarang, aku mulai mengerti kenapa kau memilih warna ini.
Hei, kue tart-mu selesai tepat waktu. Sudah ku hiasi juga dengan taburan coklat blok. Tahu tidak? Jam dindingmu cemberut saat ku pamerkan kue itu padanya. Mungkin dia iri. Tapi aku tahu, dia juga senang. Kau kan, majikan yang baik, dia juga tentu menginginkan yang terbaik di hari istimewa ini. Aku tahu itu.
Semuanya sudah siap. Kue tart dan Daisy kesayanganmu. Parfum jasmine yang kau belikan untukku juga sudah ku semprotkan pada tubuh. Aku masih tak habis pikir, kau suka sekali pada Daisy, tapi selalu menghadiahkanku parfum beraroma jasmine.
Seperti biasanya saat ku tanya kenapa…, kau akan menjawab dengan menggombal: “Kamu salah sayang, aku suka Daisy, but I love Jasmine,” lalu medaratkan ciuman mesra di keningku. Membuatku semakin salah tingkah dan berhenti bertanya-tanya.

*****
Pukul 16.39.
Akhirnya tiba di tempatmu.

“ Kau datang juga,”
 “Iya Pa, maaf terlambat ” jawabku sambil mencium tangannya.
“Tak apa Yas, Tak terlambat sama sekali. Lihat apa yang kau bawa itu... Daisy yah?”
Aku hanya mengangguk.
“Saya masuk dulu Pa,” Pamitku.

Langit masih mendung diselimuti awan. Hanya ada suara rumput. Bergesekan  dengan gaun ungu yang ku kenakan. Benar-benar Sabtu yang sepi.

“Maaf aku terlambat sembilan menit, dari yang seharusnya. Tadi aku sempat berpapasan dengan papa di pintu gerbang. Aku rasa papa tak melihat kue tart yang ku bawa ini Mas, atau mungkin beliau pura-pura tak melihatnya. Aku tak tahu, tadi beliau tak menanyakan apa-apa tentang kue ini. Beliau hanya menanyakan bunga Daisy yang ku bawa ini.”
Ku bersihkan tempat disekitarku dengan sapu tangan. Banyak debu di sana. Jelas saja, ini sudah purnama ke enam. Dan sejak hari itu, kau memintaku untuk tak mengunjungimu dulu, sebelum hari ini tiba, katamu itu demi kebaikanku.
Aku mencoba mengerti. Memang ada saja caramu untuk membuatku bingung sekaligus mengerti di saat yang nyaris bersamaan. Sebenarnya berat memenuhi permintaanmu kali itu mas, berat sekali. berkali-kali aku tergoda untuk menemuimu. Tapi berkali-kali pula ku paksakan hati dan nalarku. Aku hanya takut orang lain beranggapan aku tak menyayangimu lagi. Atau lebih parah, mereka berpikir aku ini istri durhaka, tapi katamu, istri yang baik patuh pada suami. Kau selalu menguatkanku.
“Ah… Biar bunganya ku letakkan di sini saja yah. Begini lebih bagus.”
Lalu ku letakkan bunga itu di vas bunga yang berdiri di samping namanya.

“Ini kue tart pertama kita, aku membuatnya sendiri. Mas tau, aku tak pandai memasak, tapi tadi sudah ku cicipi, rasanya lumayan.”.

“Jangan menggodaku lagi, aku sudah banyak kemajuan dalam hal dapur sekarang. Lihat, aku juga membawa jahe dan lengkuas, agar kau percaya,” ku rogoh isi kantongku.
“Ini Jahe” ucapku sembari meyodorinya jahe.  “Yang ini lengkuas.”
Dari aromanya saja, kau akan langsung bisa membedakannya sayang,” ucapmu sabar tiap kali aku kebingungan membedakannya. Yah., aku sudah bisa membedakannya sekarang mas, dengan sekali saja membaunya.

“Biar ku hidupkan lilinnya. Sebaiknya angka berapa yang harus ku pasang? Ah… kita tiup lilinnya dua kali saja yah. Seperti tahun lalu. “
Ini sudah tiga bulan lebih mas, tapi sekalipun aku tak pernah melupakanmu dalam malam-malamku. Aku rindu. Ingin bertemu. Tapi kau bilang, tunggu sampai hari ini. Dan aku hanya bisa patuh.
“Tahun lalu kita merayakan ini dengan meriah di rumah. Mengundang sanak family dan rekan kerja mas. Aku  masih ingat betul seusai perayaan, saat tamu-tamu sudah pulang, kita terus berbincang di teras rumah. Memperbincangkan tentang malam itu, tentang kemesraan para tamu yang dating, yang tampaknya tak mau kalah dengan kita. Memandangi taburan bintang di langit. Meresapi wangi Daisy yang merebak memenuhi ruang tengah. Kita juga membicarakan hari ini. Mas berniat untuk merayakannya seperti tahun lalu lagi, bukan?”

“ Tahun depan kita rayakan lagi yah ,”
“Gede-gedean seperti ini mas?”
“He’em… kenapa? Kamu ndak suka?” tanyamu antusias.
 “Suka mas, mana mungkin aku tak suka. Kau menghujaniku dengan cinta malam ini. Cinta yang begitu besar. Tapi kalau tiap tahun seperti ini, kan mubadzir mas. Mending uangnya kita sumbangkan ke panti asuhan.”
“Kalau yang ke panti asuhan, itu sudah ada anggarannya sendiri sayang. Kamu ndak perlu khawatir,” jawabmu penuh kasih sayang.
“Tapi aku mau, tahun depan kita ngerayainnya berdua saja mas. Gak perlu besar-besaran.”
“Boleh… nanti kita rayakan berdua saja. Tapi ada syaratnya, mas mau, black forrest-nya kamu yang bikin.”
Aku hanya bisa mencubit dadamu dengan gemas.

Lalu kita berdua tergelak. Karena saat itu, Jangankan untuk mebuat kue tart kesukaannya. Menanak nasi untuk sarapan paginya saja, masih sering gosong.

“Maafin aku mas, tahun ini kita merayakan ini dengan sangat sederhana. Tapi seperti yang mas mau, kita merayakannya berdua saja. Dan black forrest-nya buatanku sendiri. Semoga Mas suka ya…”

 “Selamat anniversary ya Mas… . Maaf kalau selama ini belum bisa membahagiakan mas dengan sebagaimana mestinya. Maaf, kalau selama ini mas harus sarapan dengan menu yang jauh dari harapan. Tapi mas tak pernah mengeluh. Malah tersenyum hangat.”
“ Asalkan bersamamu, apapun menjadi tujuh kali lebih nikmat dari biasanya,” bisikmu.
Lilin angka 2, sudah padam. Tertiup angin.
Jadi ku tancapkan lagi satu angka di belakangnya. Angka Sembilan.
29. Ini usianya yang ke dua puluh sembilan.
Ku pejamkan mata, dan berdoa. “Selamat ulangtahun mas,” batinku.
Saat aku buka mata, lilinnya sudah padam di sapu gerimis.

Yasmin, ayo sudah hampir gelap Nak, ini juga sudah gerimis. Sepertinya mau hujan besar. Sebaiknya kamu ikut Papa pulang.” Ku dengar teriakan Papa, samar-samar dari seberang.
Rupanya papamu belum pula pulang mas.
“Iya Pa, Sebentar, ” Sahutku setengah berteriak agar suaraku terdengar olehnya, namun juga tak mengganggumu.

Sejenak ku selesaikan doaku untuknya.

“Aku pamit dulu mas,”ujarku sembari beranjak dari tempat dudukku.

Hari semakin gelap, dan langit menumpahkan butiran-butiran airnya dalam volume yang semakin besar. Mengahadirkan bau tanah. Salah satu sensasi hujan yang kau suka. Benar-benar sabtu yang sepi. Sepi. Yah… Sepi. Aku percepat langkahku. Tapi harum bunga Daisy kesayanganmu samar-samar masih tercium inderaku.
Ada yang terlewatkan. Aku berbalik. Menuju tempatmu lagi.

“Aku lupa mas, Pak Anwar menitipiku salam untukmu. Tadi dia memberikan bunganya ini cuma-cuma saat aku bilang hari ini ulang tahunmu. Aku sudah memaksanya untuk menerima uang itu. Tapi beliau tetap menolak. Katanya itu hadiah darinya.  Beliau juga mendoakan mas, semoga mas tenang di surgaNya.”






                                                                                  Pamekasan, 18 Mei 2012
                                                                                  #Phie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar