Today
is 2.29
Pagi ini ( kalau sudah bisa disebut pagi )
sang surya belum berkenan membagi hangatnya pada dunia. Entah karena langit
masih tertutup mendung atau apa. Ayam jago milik pak Harto pun belum pula
terjaga saat aku beranjak pergi tadi. Aku melirik jam tanganku sekilas. Terang
saja ini masih jam 4. Tapi tak apa. Jarak pasar dengan rumah lumayan jauh. Bisa
makan waktu setengah sampai tiga per empat jam-an, kalau aku mengandalkan jasa
becak.
Kau tahu? Agak susah menemukan Daisy di
sini. Aku harus mengelilingi pasar berjam-jam. Menyusuri para
pedagang-pedangang daging dan ikan. Memaksa tanganku mati-matian agar tak
menutup hidungku yang gatal karena bau amis yang menusuk. Katamu itu tak sopan,
jadi dengan langkah cepat aku hentakkan kaki agar cepat keluar dari kawasan
itu. Kesalahan terbesarku adalah aku tak pandai menghafal letak suatu tempat,
bahkan mengingat namanya saja aku tak mampu. Beruntung hari ini aku membawa
telepon genggam, sehingga aku bisa menghubungi pedagang bunga langgananmu itu
dan memintanya saja yang menemuiku. Karena sudah hampir satu jam lebih aku
berputar-putar di tempat yang sama namun belum juga bisa menemukan posisinya.
Memang sudah lama aku tak kemari. Ah… sebenanya
itu bukan alasan. Aku tak berani menjamin, kalaupun tiap hari aku mampir aku
dapat mengingat tempat itu dengan benar, kau tahu kan betapa buruknya daya
ingatku? Tapi lihat, aku tak pernah melupakan hari ini.
Semua bahan sudah ku dapat. Tepung, gula,
telur, backing powder, vanili, bubuk coklat, dan yang lainnya. Hari ini aku
akan membuat black forrest. Jangan keburu tertawa, tiga bulan lalu aku sudah
mengikuti kursus masak diam-diam tanpa sepengetahuanmu. Paling tidak, aku ingin
bisa membuat roti favoritmu ini. Aku memang belum ahli, tapi kau lihat saja,
aku banyak kemajuan. Sekarang aku sudah bisa membedakan jahe dan lengkuas. Dua
buah rempah yang selalu kau gunakan sebagai senjata untuk mengolok-ngolok
kemampuan masakku, yang memang di bawah rata-rata.
Bagaimanapun rasanya nanti, kau harus
berjanji akan menghabiskannya, karena aku membuatnya dengan cinta. Katamu itu
yang terpenting, bukan? Tak peduli nasi yang ku masak gosong, telur yang ku
buat keasinan, atau sayur asam itu mendadak berubah menjadi sayur asin, kau tetap menghabiskannya dengan
tersenyum. Kali ini juga, yah? Tapi tenang saja, aku pasti membuatnya dengan
sepenuh hati. Ini kue tart buatanku yang pertama. Aku takkan membuatmu kecewa
Mas. Kau tunggu saja di sana.
Lihat ini sudah jam berapa?
Jam dinding yang kau taruh di samping rak
piring mencibirku. Katanya aku takkan bisa sampai tepat waktu. Sayang sekali aku belum berhasil menemukan
dimana kau meletakkan tangga lipatmu. Sudah ku cari di gudang. Garasi. Tapi tak
ada. Kamu membeli rumah yang terlau besar. Kalau saja aku bisa menjangkaunya
dengan tangan sudah ku copot baterainya dari tadi. Ahh… berpikir apa aku ini!
Kalau terus meracau seperti ini, kue-mu yang baru ku masukkan dalam oven ini,
benar-benar takkan selesai tepat waktu.
Ku stel oven pada suhu yang tertera di
resep. Aku harus tetap menyontek resep di buku masakan kalau mau kue tart-mu
ini berhasil.
“Hemm…
maklumilah istrimu yang tak tahu masak ini Mas,” bisikku dalam hati.
Ku tinggalkan tart-mu dalam oven sembari
mematut diri. Yah aku ingin kau melihat aku tampil cantik hari ini. Ku pakai gaun yang kau belikan khusus untuk
hari kita ini. Sekarang, aku mulai mengerti kenapa kau memilih warna ini.
Hei, kue tart-mu selesai tepat waktu.
Sudah ku hiasi juga dengan taburan coklat blok. Tahu tidak? Jam dindingmu
cemberut saat ku pamerkan kue itu padanya. Mungkin dia iri. Tapi aku tahu, dia
juga senang. Kau kan, majikan yang baik, dia juga tentu menginginkan yang
terbaik di hari istimewa ini. Aku tahu itu.
Semuanya sudah siap. Kue tart dan Daisy
kesayanganmu. Parfum jasmine yang kau belikan untukku juga sudah ku semprotkan
pada tubuh. Aku masih tak habis pikir, kau suka sekali pada Daisy, tapi selalu
menghadiahkanku parfum beraroma jasmine.
Seperti biasanya saat ku tanya kenapa…, kau
akan menjawab dengan menggombal: “Kamu salah sayang, aku suka Daisy, but I love
Jasmine,” lalu medaratkan ciuman mesra di keningku. Membuatku semakin salah
tingkah dan berhenti bertanya-tanya.
*****
Pukul 16.39.
Akhirnya tiba di tempatmu.
“ Kau datang juga,”
“Iya Pa, maaf terlambat ” jawabku sambil
mencium tangannya.
“Tak apa Yas, Tak terlambat sama sekali.
Lihat apa yang kau bawa itu... Daisy yah?”
Aku hanya mengangguk.
“Saya masuk dulu Pa,” Pamitku.
Langit masih mendung diselimuti awan.
Hanya ada suara rumput. Bergesekan dengan gaun ungu yang ku kenakan. Benar-benar
Sabtu yang sepi.
“Maaf aku terlambat sembilan menit, dari
yang seharusnya. Tadi aku sempat berpapasan dengan papa di pintu gerbang. Aku
rasa papa tak melihat kue tart yang ku bawa ini Mas, atau mungkin beliau
pura-pura tak melihatnya. Aku tak tahu, tadi beliau tak menanyakan apa-apa
tentang kue ini. Beliau hanya menanyakan bunga Daisy yang ku bawa ini.”
Ku bersihkan tempat disekitarku dengan
sapu tangan. Banyak debu di sana. Jelas saja, ini sudah purnama ke enam. Dan
sejak hari itu, kau memintaku untuk tak mengunjungimu dulu, sebelum hari ini
tiba, katamu itu demi kebaikanku.
Aku mencoba mengerti. Memang ada saja
caramu untuk membuatku bingung sekaligus mengerti di saat yang nyaris bersamaan.
Sebenarnya berat memenuhi permintaanmu kali itu mas, berat sekali. berkali-kali
aku tergoda untuk menemuimu. Tapi berkali-kali pula ku paksakan hati dan
nalarku. Aku hanya takut orang lain beranggapan aku tak menyayangimu lagi. Atau
lebih parah, mereka berpikir aku ini istri durhaka, tapi katamu, istri yang
baik patuh pada suami. Kau selalu menguatkanku.
“Ah… Biar bunganya ku letakkan di sini
saja yah. Begini lebih bagus.”
Lalu ku letakkan bunga itu di vas bunga
yang berdiri di samping namanya.
“Ini kue tart pertama kita, aku membuatnya
sendiri. Mas tau, aku tak pandai memasak, tapi tadi sudah ku cicipi, rasanya
lumayan.”.
“Jangan menggodaku lagi, aku sudah banyak
kemajuan dalam hal dapur sekarang. Lihat, aku juga membawa jahe dan lengkuas,
agar kau percaya,” ku rogoh isi kantongku.
“Ini Jahe” ucapku sembari meyodorinya
jahe. “Yang ini lengkuas.”
“Dari
aromanya saja, kau akan langsung bisa membedakannya sayang,” ucapmu sabar
tiap kali aku kebingungan membedakannya. Yah., aku sudah bisa membedakannya
sekarang mas, dengan sekali saja membaunya.
“Biar ku hidupkan lilinnya. Sebaiknya angka
berapa yang harus ku pasang? Ah… kita tiup lilinnya dua kali saja yah. Seperti
tahun lalu. “
Ini sudah tiga bulan lebih mas, tapi sekalipun
aku tak pernah melupakanmu dalam malam-malamku. Aku rindu. Ingin bertemu. Tapi
kau bilang, tunggu sampai hari ini. Dan aku hanya bisa patuh.
“Tahun lalu kita merayakan ini dengan
meriah di rumah. Mengundang sanak family dan rekan kerja mas. Aku masih ingat betul seusai perayaan, saat
tamu-tamu sudah pulang, kita terus berbincang di teras rumah. Memperbincangkan
tentang malam itu, tentang kemesraan para tamu yang dating, yang tampaknya tak
mau kalah dengan kita. Memandangi taburan bintang di langit. Meresapi wangi Daisy
yang merebak memenuhi ruang tengah. Kita juga membicarakan hari ini. Mas
berniat untuk merayakannya seperti tahun lalu lagi, bukan?”
“ Tahun depan kita
rayakan lagi yah ,”
“Gede-gedean seperti
ini mas?”
“He’em… kenapa? Kamu
ndak suka?” tanyamu antusias.
“Suka mas, mana mungkin aku tak suka. Kau
menghujaniku dengan cinta malam ini. Cinta yang begitu besar. Tapi kalau tiap
tahun seperti ini, kan mubadzir mas. Mending uangnya kita sumbangkan ke panti
asuhan.”
“Kalau yang ke panti
asuhan, itu sudah ada anggarannya sendiri sayang. Kamu ndak perlu khawatir,”
jawabmu penuh kasih sayang.
“Tapi aku mau, tahun
depan kita ngerayainnya berdua saja mas. Gak perlu besar-besaran.”
“Boleh… nanti kita
rayakan berdua saja. Tapi ada syaratnya, mas mau, black forrest-nya kamu yang
bikin.”
Aku hanya bisa mencubit
dadamu dengan gemas.
Lalu kita berdua
tergelak. Karena saat itu, Jangankan untuk mebuat kue tart kesukaannya. Menanak
nasi untuk sarapan paginya saja, masih sering gosong.
“Maafin aku mas, tahun ini kita merayakan
ini dengan sangat sederhana. Tapi seperti yang mas mau, kita merayakannya
berdua saja. Dan black forrest-nya buatanku sendiri. Semoga Mas suka ya…”
“Selamat anniversary ya Mas… . Maaf kalau
selama ini belum bisa membahagiakan mas dengan sebagaimana mestinya. Maaf, kalau
selama ini mas harus sarapan dengan menu yang jauh dari harapan. Tapi mas tak
pernah mengeluh. Malah tersenyum hangat.”
“
Asalkan bersamamu, apapun menjadi tujuh kali lebih nikmat dari biasanya,” bisikmu.
Lilin angka 2, sudah padam. Tertiup angin.
Jadi ku tancapkan lagi satu angka di
belakangnya. Angka Sembilan.
29. Ini usianya yang ke dua puluh sembilan.
Ku pejamkan mata, dan berdoa. “Selamat
ulangtahun mas,” batinku.
Saat aku buka mata, lilinnya sudah padam
di sapu gerimis.
“Yasmin,
ayo sudah hampir gelap Nak, ini juga sudah gerimis. Sepertinya mau hujan besar.
Sebaiknya kamu ikut Papa pulang.” Ku dengar teriakan Papa, samar-samar dari
seberang.
Rupanya papamu belum pula pulang mas.
“Iya Pa, Sebentar, ” Sahutku setengah
berteriak agar suaraku terdengar olehnya, namun juga tak mengganggumu.
Sejenak ku selesaikan doaku untuknya.
“Aku pamit dulu mas,”ujarku sembari
beranjak dari tempat dudukku.
Hari semakin gelap, dan langit menumpahkan
butiran-butiran airnya dalam volume yang semakin besar. Mengahadirkan bau
tanah. Salah satu sensasi hujan yang kau suka. Benar-benar sabtu yang sepi.
Sepi. Yah… Sepi. Aku percepat langkahku. Tapi harum bunga Daisy kesayanganmu
samar-samar masih tercium inderaku.
Ada yang terlewatkan. Aku berbalik. Menuju
tempatmu lagi.
“Aku lupa mas, Pak Anwar menitipiku salam
untukmu. Tadi dia memberikan bunganya ini cuma-cuma saat aku bilang hari ini
ulang tahunmu. Aku sudah memaksanya untuk menerima uang itu. Tapi beliau tetap
menolak. Katanya itu hadiah darinya. Beliau
juga mendoakan mas, semoga mas tenang di surgaNya.”
Pamekasan,
18 Mei 2012
#Phie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar