Senin, 21 Juli 2014

11 Juli 2014

Kau tahu, Ning ...?
Terkadang sebuah kepedulian tak melulu berupa dukungan, persetujuan atau pujian.
Sering kali ia justru hadir dalam bentuk yang berbeda.
Berupa cibiran yang memojokkan, olok-olokan meremehkan atau bisa jadi dibungkus kata-kata pedas menjatuhkan.

Kau ingat, berapa kali hal demikian menjabatimu?
Sering!
Kau marah? Sedih? Lalu menangis karenanya?
Ahh, pastilah lebih sering lagi.

Aku juga pernah, karenanya aku sampaikan ini padamu; Berbahagialah, Ning ...

Hanya masalah waktu, hingga nanti kau menyadari, bahwa semua cercaan yang kau dapati itu layak untuk kau syukuri.
Percayalah, adakalanya setiap cibiran yang mereka hadiahi adalah sebaik-baiknya pemantik semangatmu yang nyaris mati.
Ini hanya soal bagaimana kau berpikir menyikapi ...

Ahh hari telah tua, Ning ... rembulan meninggi berkawan lampu layangan. Kau tidurlah lebih dulu. Pasang selimut hangatmu. Matikan nyala kipas, malam di sini terlalu berangin untuk tubuh kecilmu.

Selamat tidur ...
Hangat matari menunggu senyum riangmu, esok pagi.

[]

#Phie

Senin, 12 Mei 2014

8 Mei 2014



Sebab adil terkadang menjadi relatif, Ning...
Sebab adil tak selamanya berarti sama...
Lalu,
adil seperti apa yang kau damba?

Renungkanlah sejenak
Barangkali kita ini terlalu tamak
Enggan bersyukur barang sedetak
Atas nikmat-Nya yang berpetak-petak

Renungkanlah sejenak
Barangkali tiada kita maksimal memutar otak
Hingga setiap berkah seolah tak nampak
Padahal ia ada dalam setiap pijak

 
[]
 

10 Mei 2014



Sebab hidup...
Tak seindah cerita di negeri dongeng yang kau dengar sebelum lelap malammu, Ning...
Adalah kau terjaga dari pemahaman yang demikian

Hidupmu, sebaik pengusahaanmu untuk hidup. Akan selamanya berbanding lurus....

Walau terkadang hasil tak selalu dapat kita petik langsung setelah menanam... Ia butuh waktu yang lama untuk akhirnya bisa kita tuai.
Maka, tanamlah kebaikan, sebarkanlah kearifan

Hidup di sini sangatlah sebentar, Ning...
Betapa disayangkan bila yang kau tebar benih permusuhan

Bukankah di akhirat kelak, dengan Mereka kau ingin berkawan?
Mereka yang dari matanya terpancar senyum iman...

[]

 
#Phie

Senin, 05 Mei 2014

22 Maret 2014



Akhirnya kau terlelap, Ning...
Melupa leluka yang dihantarkan senja di bawah meja. Luka yang kau singkap dengan lantang di balik taplak sutra merah muda...

Aku melihatnya dengan jelas, Ning... saat separuh pandangmu tetiba nanar. Meredup binarnya seperti bohlam di pinggir jalan yang lupa mereka ganti berurunan.
Kau tahu, Ning? Gelap itu kian meraja sekalipun kau poles dengan tawatawa dupa.

Adalah aku, Ning...
Yang merengek pada timbunan tisutisu dikolong dipan, sebab tak mampu sekuat hatimu yang baja.

Tidurlah, Ning... bukankah ini yang kita sebut bahagia, selama kau dan aku tak terpisah. Jiwa dan raga.

Terimakasih, Ning... Akhirnya kau terlelap juga. Tak sia kusodori tenggorokanmu dengan baygon dan soda.[]

#Phie
#akurapopo
*bah!!! Saya nulis apaaaah?*

Untukmu, Luka



Untukmu, Luka...
Sengaja kuperaskan jeruk nipis dan kusirami cuka. Agar perih yang kau bilang tak seberapa itu... benarbenar berhenti menganga!

Untukmu, Luka...
Maaf... pabila terkadang aku lebih kejam dari biasanya. Tapi bukankah kau sudah mengenal tusukan yang tajamnya mengalahkan parang. Jadi... berhentilah bermanjamanja. Kau harus berani menyabik lukamu sendiri. Agar kelak, pabila yang lain ingin menggorokmu, kau bisa melangkah tak peduli.

Untukmu, Luka...
Maaf... memintamu bertahan lebih lama. Berteman dengan kesakitan. Akrab dengan gores makian. Tapi, matimatian menahanmu menguarkan rintih keluhan. Bukan di sini, setidaknya. Bukankah telah kuberitakan juga... kapan dan dimana kau dapat leluasa mengaduh pun bermanjamanja?

Untukmu, Luka...
Terimakasih bersabar di sampingku sekian lama. Percayalah... bahwa luka dekat sekali dengan tawa. Kita hanya perlu menunggu saja, sembari tetap mengingat sang maha. Percayalah... tak lama lagi kulepas kau pada Bahagia.

[]

#Phie