Sabtu, 17 November 2012

SEPOTONG CINTA UNTUK NEGERI


10 November 2012
Tak ada yang berbeda dengan hari ini. Semua berlalu begitu saja, kecuali kenyataan bahwa hari ini sekolahku libur. Yah, libur. Hari libur memang sesuatu banget buat kami yang masih duduk di bangku sekolah, apalagi kalau liburnya di hari Sabtu seperti sekarang ini, serasa libur panjang. Tapi siapa bilang ini benar-benar liburan yang menyenangkan? Sepertinya pihak pejabat kota ini tak benar-benar senang membiarkan kami yang katanya para penerus tonggak perjuangan ini libur dengan tenang. Buktinya, alih-alih membiarkan kami menghabiskan weekend dengan tenang, pihak sekolah malah memberi kami tugas mengarang bebas. Membuat sebuah cerpen bertemakan “cinta tanah air”, entah untuk tujuan apa, tapi katanya sih ya untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air pada penerus tonggak perjuangan seperti kami ini.
Sebenarnya mengarang bukan hal yang terlalu sulit buatku yang sudah duduk dibangku SMP kelas 2 ini. Tinggal mengarang bebas aja kan, toh tiap kami gak bisa menjawab lembar soal ujian yang kami lakukan adalah mengarang bebas. Tapi kali ini beda, giliran kami diminta mengarang, otakku seakan-akan mendadak tumpul. Bukan karena ketentuan mengarangnya yang harus 1000 kata, sungguh bukan itu. Kendalanya adalah, tema yang harus aku tulis adalah cinta tanah air. Kenapa bukan cinta keluarga atau cinta pada yang lainnya? Kenapa harus cinta pada tanah air? Benar-benar tak habis pikir.
Apa yang harus aku tulis?
Aku putar otakku berkali-kali, apa yang harus kutulis di lembar karanganku nantinya? Sepertinya tidak ada poin yang dapat aku tuliskan. Lalu harus aku mulai darimana? Dengan susah payah aku korek-korek isi otakku. Tapi berkali-kali pula kudapati kebuntuan disana.
Apa yang harus aku tulis?
Poin apa yang harus aku angkat? Mmm.. oke, mungkin tentang keberagaman budaya yang ada di negaraku ini. Yah. Itu saja. Betapa indahnya keberagaman budaya yang dapat berjalan selaras dan berdampingan di bangsa kami. Mulai dari keberagaman suku, agama, adat istiadat dan budaya. Sungguh luhur nilai yang terkandung dalam semboyan Negara kami. Bhineka Tunggal ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Ahh… andai saja apa yang dicita-citakan pemerintah kami terdahulu dalam semboyan itu benar-benar menjelma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, mungkin Indonesia yang kukenal saat ini adalah Indonesia yang damai dan tentram. Gak ada pertikaian dan peperangan antar suku yang terjadi disana-sini seperti yang bolak-balik aku lihat di layar kaca. Ironisnya, semboyan luhur itu, hanya berhenti sebagai semboyan saja tanpa realisasinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Lantas? Siapa yang harus dipersalahkan dengan semakin maraknya pertikaian yang dipicu oleh keberagaman ini? Pemerintahkah? Atau individunya? Masih patutkah aku berbangga hati dengan semua ini?
Lalu aku putuskan untuk berhenti menulis tentang ini. Toh aku tak bisa membohongi diriku sendiri, dengan hanya menuliskan sisi positifnya dan melupakan sisi negative yang sebenarnya tengah terjadi. Ini sama saja seperti mengelabui publik. Ah… aku mendadak berlagak seperti public figure saja.
Ah ya, bangsa kami punya budaya antri yang cukup bagus. Mungkin aku bisa menuliskannya sebagai sebuah cerpen. Yah… bangsa kami adalah bangsa yang menerapkan budaya antri dimanapun. Ditempat pembelian tiket, penerimaan sembako, atau tempat-tempat yang lain sebagainya. Kita bisa dengan mudah menemukan budaya ini disekitar kita. Dengan budaya antri ini, setiap orang menerima keadilan yang sama. Ia yang berada dibaris antrian terdepan maka ia yang akan mendapatkan perlayanan terlebih dahulu. Benar-benar adil. Setiap orang mendapat perlakuan yang sama.
Tapi baru saja hendak menuliskannya, seorang sahabatku yang di Jakarta menelponku. Bercerita dengan bersungut-sungut karena antriannya diserobot oleh seseorang. Seorang artis ibu kota. Si pelayan, dengan santainya melayani si artis seolah kami yang mengantri terlebh dahulu tak dipandangnya, tutur sahabatku.
Lantas masih bisakah aku membanggakannya? Jika ternyata keadilan yang tersimpan dalam budaya mengantri bisa luntur begitu saja, bergantung pada siapa posisi anda dalam masyarakat. Hal ini hanya kan menguntungkan orang-orang yang berada diatas sana, dan semakin menyusahkan bagi kami yang berada di bawah garis rata-rata. Ah… sangat disayangkan
Apa yang harus aku tulis?
Ah ya.. ada pula sebuah slogan yang cukup umum aku dengar. Cintailah Produk Indonesia. Yah… slogan yang sangat bijak. Kita memang harus mencintai produk dalam negeri sendiri. Bukan malah keranjingan menikmati produk-produk luar negeri. Masih banyak barang-barang bagus yang dapat kita dapatkan dari dalam negeri tanpa harus bersusah payah membelinya dari luar. Tapi, pada dasarnya harga yang ditawarkan, memang harus diakui memilik selisih yang sangat jauh. Jangnkan seribu rupiah, bagi kami yang berasa di bawah garis ekonomi ini, perbedaan seratus rupiah saja, sangat berarti bagi kami. Belum lagi, terkadang kami harus menanggung kekecewaan setelah membeli barang dalam negeri dengan harga yang murah, yang kami dapati adalah kualitas yang rendah pula. Lalu dengan berat hati kami harus menelan ludah kami sendiri. Bayar murah mau kualitas yang bagus…? MIMPI.
Lagi-lagi aku harus kecewa.
Ada lagi. Ini tentang perfileman di Indonesia. Mungkin wawasanku tentang dunia perfileman sangat minim. Yang aku tahu hanya sebatas film-film yang diputar di televisi saja. Alih-alih membahas tentang film, yang aku bahas mungkin hanya seputar sinetron sinetron yang memanjakan mata kami diwaktu senggang. Sinetron-sinetron yang ku lihat gak jauh-jauh dari masalah cinta-cintaan para muda-mudi. Yang memang gengre cinta-cintaan ini tak akan habis untuk dibahas. Hanya saja, miris sekali melihat sinetron-sinetron kami akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Banyak ku dapati cerita yang menggambarkan kehidupan sekolah sepertiku yang masih mengenakan seragam putih biru ini terlibat dalam rekayasa orang dewasa untuk mempertontonkan cinta-cintaan yang tidak pada umurnya. Sebuah tontonan yang baik, haruskah tontonan yang mampu memberikan tuntunan yang baik bagi penontonnya. Alih-alih memberikan tuntunan yang baik, aku malah merasa kami diracuni dengan dijejali berbagai macam tontonan yang seperti itu. Mungkin ini terdengar naïf, tapi ini hanya sekedar pemikiran kecil dari seorang anak kecil sepertiku. Apa yang harus kau harapkan?
            Ku hela nafasku. Meninggalkan buku-buku yang berserakan di meja. Sepertinya aku memang takkan memiliki ide yang cukup bagus untuk aku tuliskan sebagai pengisi tugas liburanku kali ini. Entah aku yang terlalu tolol, atau apa.
Lebih baik aku bergegas menyusul kakek di pasar daripada terus berkutat di sini. Ku bawa sepeda motor butut milik kakek. Hari sudah siang, sebentar lagi kakek pasti akan membereskan dagangannya dan bergegas pulang. Benar saja, kudapati kakek sudah siap untuk kujemput pulang. Kata ibuk, kakek adalah mantan seorang pejuang pada jamannya. Ngomong-ngomong soal pejuang, mungkin aku bisa mengorek-ngorek sedikit dari beliau tentang tugas liburanku ini. Siapa tau kakek bisa memberikan ilham yang aku butuhkan.
“Kek, kita makan mie ayam di tempat bu Mirah dulu ya kek,” pintaku.
Dan kakek mengiyakan. Mie ayam bu Mirah sangat terkenal ditempat kami. Tak hanya untuk warga lokal, banyak bule-bule yang ku lihat berseliweran disini. Bukan hanya karena mie ayamnya dan kopi buatan bu Mirah yang enak, tapi karena tempatnya yang strategis dijantung kota. Aku sering melihat para bule menghabiskan waktu mengobrol disini.
Aku dan kakek duduk ditempat kami biasanya. Tepat dipinggir jendela. Kami menyantap mie ayam kami dengan lahap. Sampai akhirnya ku temui kakek berhenti menyendok mienya lagi.
“Ada apa kek?” tanyaku penasaran.
Dan kakek hanya memberi aba-aba dengan jari telunjuknya agar aku dia sejenak. Aku diam. Dan akhirnya paham. Di meja seberang ada beberapa orang bule yang tengah asyik mengobrol dalam bahasa linggis mereka. Maaf bahasa inggris maksudku. Tak banyak yang bisa aku pahami dari kata-kata yang mereka ucapkan. Karena harus ku akui nilai bahasa inggrisku dibawah memuaskan.
Tapi, aku cukup paham bahwa apa yang mereka bicarakan adalah menjelek-jelekkan Indonesia. Mereka berkali kali menyebutkan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Bahwa keramahan yang disuguhkannya hanya sebagai kedok untuk menutupi itu semua. Dan bla-bla-bla…
Ingin rasanya aku labrak mereka, dan menyiramkan sisa mie ayam dimangkokku pada mereka. Aku sudah berdiri dan bersiap-siap melakukan aksiku tapi dengan lembut kakek menarik lenganku. Aku tahu sebenarnya kakek jauh lebih tersulut amarah mendengar apa yang mereka katakana. Karena bagaimanapun beliau adalah mantan pejuang. Tentu beliau tidak akan terima Negara yang dibelanya bertahun-tahun silam dijelek-jelekkan seperti itu. Itu namanya pelecehan bagi perjuangannya.
            “Tapi, Echa gak terima kek.., kita harus memberi mereka pelajaran agar gak sembarangan lagi,”
“Ya, kita memang harus memberi mereka pelajaran Cha, ada berapa orang semuanya?”
“Tiga orang kek, kakek mau ngapain?” aku penasaran akan apa yang akan kakek lakukan pada mereka. Apa kakek juga mau melabrak mereka? Tapi apa iya kakek masih kuat?
Bukannya menjelaskan apa yang akan dilakukannya kakek malah menghampiri meja kasir. Loh? Katanya mau memberi bule-bule itu pelajaran? Kok malah mau pulang?
“Berapa semuanya nak?”
“Mie ayam dua, es teh satu, dan kopi tubruk satu, semuanya Rp 22.500 kek,” lalu kakek menyerahkan selembar uang seratus ribuan. Itu uang hasilnya berjualan dipasar hari ini.
“ini untuk membayar makanan mereka juga,” kata kakek menunjuk meja para bule yang menyebalkan itu. “saya rasa cukup, dan ini saya minta tolong berikan ini pada mereka.” Kakek menyerahkan sobekan kertas kecil pada pelayan tadi.
Aku penasaran apa yang sebenarnya sedang kakek lakukan. Bukannya melabrak mereka, ini malah membayari makan mereka juga.
“kakek, apa yang kakek tulis tadi?”
“ Hai, I am Saleh. I’m Indonesian. I hope you will be interesting in Indonesia. Nice to know you.”
 “Kakek, katanya mau memberi mereka pelajaran? Kok malah membayari uang makan mereka sih?”
“Bukan saatnya lagi untuk kakek mengangkat senjata melawan penjajah Cha, ini bukan jaman perang seperti jaman kakek dulu. Tapi masih banyak hal lain yang bisa kita lakukan untuk membela negara kita tercinta ini. Balaslah kejahatan mereka dengan kebaikan kita.  Mungkin akan susah, tapi Itu jauh lebih terhormat. Itu budaya bangsa kita, Cha,” Katanya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Yah.. inilah perbedaan kami para pemuda-pemudi bangsa ini dengan kakek. Aku seakan mewakili sebagian besar para pemudi yang selalu gegabah menyelesaiakn masalah. Para pemudi yang kehilangan rasa cinta tanah airnya. Tapi kakekku menunjukkannya dengan begitu baik. Benar-benar membuatku merasa malu padanya.
Begitu luhur apa yang kakek lakukan, ia membalas air tuba dengan air susu. Kakek menghapuskan benih-benih permusuhan dan menggantinya dengan menebar kebaikan.
“Itu budaya bangsa kita Cha,” kata-kata kakek masih terngiang telingaku. Budaya bangsa. Yah… benar, masih banyak hal yang bisa ku gali dari bangsaku. Masih banyak kebaikan-kebaikan dari negeri ini yang bisa dan patut aku banggakan. Hanya saja aku terlalu menutup diri untuk melihatnya. Dan kakek membuka mataku. Ia tak hanya bicara seperti pesan para pejabat-pejabat petinggi Negara saat berorasi. Beliau menunjukkan bukti nyata.
Talk less do more. Itu yang dibutuhkan negara ini.
Kami pulang.
Dan akhirnya aku tahu, apa yang harus ku tuliskan untuk tugas liburanku.

Surabaya, 18 November 2012
#Phie