Aku gak tahu mau mulai dari mana... yang jelas waktu itu, aku lagi-galau-galaunya. Jadi dalam jangka waktu dua minggu sengaja ku non aktifkan HP. Tapi apalah daya, karena kerinduanku yang luar biasa pada membaca dan tulis menulis, akhirnya aku buka lagi. Lagian saat itu aku ingat, beberapa minggu yang lalu aku mengirimkan beberapa tulisanku untuk ikut event lomba tulis menulis yang diadakan beberapa penerbit, dan aku rasa sudah waktunya pengumuman hasil.
Berharap menang dalam sebuah event tulis menulis tentu ada, hanya saja
membayangkannya tak pernah. Tulisanku masih jauh dari kata bagus,
apalagi sempurna. Namun, satu hal yang pasti aku lakukan saat mengikuti
sebuah event adalah bersungguh-sungguh. Sebelum kukirim kucek and ricek
lagi tulisanku, apa masih ada typo atau kesalahan EYD. Kubaca lagi, ada
patahan yang mengganggu jalannya cerita atau tidak. Kuperhatikan pula
syarat-syarat yang ditentukan. Jika sudah puas, baru ku kirimkan.
Menurutku, eman banget kalau sampai tulisan kita gagal hanya karena hal
sepele macam kesalahan margin dan kawan-kawanya. Ya gak siih? :D
Pagi itu, beberapa mention dari kawan di FB masuk dalam notifikasiku.
Daaaan.... eng ing eng... Rasanya mau jungkir balik saking senengnya
lihat namaku nampang di situ sebagai juara :D
Dan...
Setelah penantian yang lama buku itu berhasil di tangan saya... *joget joget* hihihi
Rabu, 13 November 2013
Sabtu, 27 Juli 2013
EVENT [GADO-GADO CINTA]
New Event : Gado-gado Cinta, It’s All About Love!
25 Juli 2013 pukul 14:00
Dicari! 150 Naskah Bertema C-I-N-T-A
“Ekpresikan Cintamu Lewat Karya! Ekspresikan Karyamu dengan Cinta”
Hai AGPers... gimana kabarmu? Ada yang lagi suntuk ya nungguin info lomba terbaru. Nih, sebagai bukti tanda cinta, Penerbit Alif Gemilang Pressindo bakalan ngadain event baru buat kalian semua. Mau? Atau mau banget?
Oh ya AGPers, tentunya kalian semua pernah ngerasain yang namanya cinta. Mau itu jatuh cinta, putus cinta, sedih karena cinta, galau karena cinta, bahagia karena cinta, atau apa aja deh tentang cinta. Pernah kan? Yang namanya manusia pasti pernah dong?
Nah... event kali ini gak jauh-jauh amat dari hal-hal tersebut, sebab tema lomba kali ini adalah GADO-GADO CINTA, IT’S ALL ABOUT LOVE.
Tuangkan ide kreatifmu tentang C-I-N-T-A dalam bentuk tulisan apa saja; cerita mini, puisi, pantun, cerita lucu, kisah sedih, kisah bahagia, dll. Ingat ya? Cinta itu universal, bukan hanya tentang lawan jenis, boleh tentang orang tua, teman, sahabat, guru, ibu kos, tetangga, hewan peliharaan, pokoknya apa aja deh.... Apa harus kisah nyata? Nah, ini yang buat jadi menarik, cerita/puisi/pantun atau karya apapun yang kamu kirim, boleh hanya berupa imajinasi atau karangan, tidak harus kisah nyata (tapi yang mau kirim true story juga gak dilarang kok.)
Ingat gak banyolan-banyolan Sule yang sering tampil di OVJ, contohnya gini:
Momon : Neng, Papa Neng Pilot ya?
Mimin : Kok Abang tau?
Momon : Soalnya Eneng udah buat hati abang melayang-layang.
Mimin : Ah abang...!
Kalau banyolan gitu boleh gak? Boleh.... boleh.... Yang penting puisi, pantun, cerita mini, dan karya apa saja yang kalian buat harus asli karya dan ide kreatif kalian. Gak boleh nyontek ya?
Jelas kan? Nggak Susah kan? Syaratnya cukup mudah. Silakan kamu tulis kisah tentang cinta tersebut sepanjang maksimal 350 kata, ingat ya, ini maksimalnya, minimalnya terserah. Yang kirim pantun boleh kirim maksimal 5 pantun. Yang kirim puisi boleh kirim 2 judul. Pokoknya keseluruhannya gak boleh lebih dari 350 kata. Ketik rapi, mengunakan font Times New Roman, size 12, Spasi 1,5, kertas A4. Ingat ya? Boleh fiksi dan boleh true story
Kalau sudah ditulis, silakan lampirkan naskah (attachfile) dan kirim ke email: lomba_agp@yahoo.com dengan menulis subject : G2C_nama penulis_jenis tulisan. Contohnya: G2C_Aida_Puisi, atau G2C_Salman_Cerita Lucu, atau G2C_Yamamoto_Pantun, dll. Di bawah naskah, sertakan biodata narasi maksimal 50 kata (tanpa foto). Sertakan pula nama lengkap, nama akun fb, id twitter (kalau ada), alamat lengkap (pakai kode pos), nomor HP dan alamat email aktif.
Event ini berlangsung mulai Hari Ini s/d 25 Agustus 2013, pukul 21:00 WIB.
Pengumuman Peserta Lomba pada 27 Agustus 2013.
Pengumuman Naskah yang lolos dibukukan pada 10 September 2013.
Pengumuman juara 1, 2 dan 3 pada tanggal 30 September 2013.
Kami mencari sedikitnya 150 naskah Gado-gado Cinta (It’s All About Love) paling menarik untuk dibukukan. Untuk ke 150 Kontributor yang naskahnya lolos diwajibkan untuk invest Rp 100.000,- dan akan diberikan 3 eksemplar buku terbit dikirimkan ke alamat kontributor, gratis ongkos kirim seluruh wilayah, alamat Indonesia. (Nggak rugikan dapat 3 eksemplar? Harga normal setelah buku terbit sekitar Rp 50.000, nah buat kontributor bisa untung kan?).
Pembayaran invest Rp 100.000 ribu untuk 150 kontributor dimulai sejak pengumuman kontributor yang naskahnya lolos, yaitu tanggal 10 September 2013 s/d 30 September 2013. Nomor rekening transfer akan diinfokan nanti berbarengan dengan pengumuman naskah yang lolos dibukukan. Bagaimana jika naskahnya lolos tapi tidak kirim invest tersebut? Secara otomatis naskahnya akan didiskualifikasi.
Biar lebih semangat, kami berikan reward untuk 3 karya yang paling menarik menurut kami.
1. Juara 1: Thropy + Paket Buku senilai Rp 300.000,- + 2 buku terbit
2. Juara 2: Thropy + Paket Buku senilai Rp 200.000,- + 2 buku terbit
3. Juara 3: Thropy + Paket Buku senilai Rp 100.000,- + 2 buku terbit
Silahkan share info ini dijejaring sosial apapun yang kamu miliki. Boleh di blog, note fb, twitter, dll.
Selamat Berlomba!
Salam,
Penerbit Alif Gemilang Pressindo
Lelaki [Tak] Biasa
Semalam...
Anda masih di sana
dalam jarak yang masih sama rasanya. Namun, dengan begitu jelas saya masih
dapat merasakan kepedulian Anda, sekalipun berulang kali Anda mengatakan itu
biasa saja. Yah, tak kurang dari puluhan kali anda menyebutnya dalam
perbincangan kita semalam. Sayalah yang justru harus bolak-balik menyadarkan
diri saya untuk meyakininya. Yah, bahwa ini sekarang tak lebih dari "biasa
saja". Sayalah yang harus mati-matian menekan perasaan ini agar tetap di
tempatnya, di sana. Sudut paling dasar, agar tak dengan seenaknya menyembul
lagi ke permukaan. Setidaknya tidak untuk sekarang ataupun dalam waktu dekat.
Karena saya yang mengajukan perpisahan dan
anda selalu dengan besar hati mengabulkannya, sekalipun saya tahu ini gila bagi
anda. Anda tetap mengusahakannya. Seperti ibu peri yang akan senantisa
mengajari saya bagaimana menciptakan keajaiban itu sendiri, jika ternyata
keajaiban yang saya minta tak dapat diberikan dengan sekali ayunan tongkat
ajaibnya. Saya tahu, ini tak mudah bagi anda untuk dapat dengan cepat
meloloskannya. Saya tahu, anda pasti bertanya-tanya alasan di balik pengajuan
'ajaib' ini. Bahkan saya paham jika anda menyebut ini sebagai permintaan gila.
Yah, saya memahaminya dengan baik. Tapi, seperti biasa, anda akan selalu
menjungjung kebahagiaan saya di atas segalanya, jadi anda pun mengabulkannya.
Tidak mudah
memang.
Tidak bagi saya,
pun bagi anda.
Karenanya, saya
sangat mensyukuri karena hingga kini anda masih tetap di sisi saya. Senantiasa
menjadi sandaran. Senantiasa bersedia meminjamkan bahu dan telinga saat saya
melemah. Terimakasih atas segala bentuk kepedulian yang 'biasa' ini. Terimakasih
atas kedewasaan anda menanggapi ketakdewasaan, sifat kekanak-kanakan dan
tingkah manja saya, selama ini. Terimakasih Atas kehangatan sikap Anda,
sekalipun saya tahu anda justru ingin ini terlihat sebagai suatu kebekuan.
Terimakasih karena hingga kini, Anda masih menjadi seperti Anda yang saya kenal
dulu.
Saya selalu
mensyukuri setiap putaran waktu yang pernah kita singgahi bersama. Takkan
pernah sedikitpun menyesalinya. Dan semalam anda kembali membuat saya
mensyukurinya. Atas kebijaksanaan anda menyikapi tudingan-tudingan miring itu,
yang lagi-lagi anda menyebutnya 'biasa'. Terimakasih untuk pemahamannya.
Baiklah!
Sebaiknya memang
seperti ini saja dulu. Kita sibukkan diri kita masing-masing dengan rutinitas
yang kita miliki sekarang. Mengejar apa yang kita sebut sebagai cita-cita.
Membangun apa yang kita namai sebagai bakti anak, pada mereka. Terlebih, untuk
mulai menata ulang apa yang dari kecil kita kenal sebagai IMTAQ, yang kemudian
mulai kita sisihkan saat kita beranjak dewasa.
Biarlah untuk
sementara ini, kita kesampingkan apa yang kita sebut cinta dan mulai
memasrahkannya pada sang Pemilik Cinta. Karena, sungguh kita sama-sama tahu,
bahwa hanya Dialah yang memiliki kekuasaan penuh atas segala rasa yang
bergejolak dalam dada. Berdoa saja, bahwa kelak hati kita masih dapat
dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik dari ini.
Ah ya satu lagi. Satu saja.
Suatu saat, saya
harap anda dapat pula memahami ini semua. Memahami bahwa keputusan gila yang
saya ambil ini tak lain untuk kebahagiaan kita, kelak. Saat nafas tak lagi jadi
milik kita. Karena, bagi saya... Anda lebih dari BIASA.
Surabaya, 15 Juli 2013
#Phie
[BIG thanx buat yang
menginsirasi saya sehingga dapat menulis ini :D. Kusebut kamu, LUAR BIASA!]
Demi Apa?
Aku
pernah bertanya, "Dosakah pabila aku meminta kematian sekarang?" dan
kamu hanya menjawabku dengan tersenyum. Menenangkan. Mengusap kepalaku dengan
sabar. "Ndak, Vi... Tapi sangat disayangkan kalau kamu memintanya datang
lebih awal."
"Kenapa?"
"Kenapa
harus meminta kematian? tanpa kamu pinta ia pasti akan datang. Entah sekarang,
esok, esok lusa atau kapan. Siapkanlah bekal, sebelum ia datang. Sudah
cukupkah? Sudahlah... Tak perlu kamu gubris ocehan mereka. Tak ada untungnya.
Kamu justru terlihat lemah. Putus asa."
"Lalu
aku harus meminta apa?"
"Mintalah
kebahagiaan. Untukmu. Untukku. Untuk mereka."
Kutatap
matanya lekat-lekat. Tak paham jalan pikirannya.
"Mereka?
Yang selalu menatap miring ke arahku? Yang selalu mencaciku, tanpa tahu
alasanku. Untuk apa aku mendoakan kebahagiaan mereka?"
"Untuk
Kita. Mereka yang membencimu, sengaja diutus untuk mendewasakanmu. Untuk
menguatkan kita."
"Benarkah?"
Untuk kesekian kalinya bulan sabit pindah ke bibirnya.
"Kurasa
mereka hanya tahu menghujat saja. Semua yang kulakukan salah di mata mereka.
Seolah mereka tak punya cela!"
"Ayolah,
kalau kamu masih mengeluhkannya, kamu takkan pernah menjadi lebih baik dari
yang sudah-sudah. Kamu lihat cangkir keramik ini. Ia harus ditempa berkali
kali. Dioven dengan panas yang luar biasa, dalam waktu yang lama... Agar bisa
dipajang dengan anggun di etalase toko. Kemudian dijual dengan harga
mahal," ujarnya sembari menyeruput tehnya yang mulai dingin. Menyesapnya
sedikit demi sedikit.
"Tuhan
sedang ingin meninggikan kwalitasmu. Sekarang tergantung pilihanmu. Bertahan
atau menyerah! Kebahagiaan bukan suatu kebetulan, Vi. Ia nama lain dari
ikhtiar, tawakal dan sabar."
Aku
mendengarkannya khidmat. Tak pernah bosan mendengar petuah-petuahnya. Ia bukan
ustadz. Bukan pula motivator besar. Ia hanya seorang pribadi yang sederhana.
Yang selalu positif memaknai segala.
"Terima
kasih, aku hanya lelah menjadi bulan-bulanan sikap sinting mereka."
"Itu
bentuk lain kepedulian mereka padamu, pahamilah... Masih banyak yang
menunjukkan kasihnya dengan cara yang kau suka. Syukuri saja... "
"Seperti
caramu sekarang?"
"Bisa
jadi begitu." Kudapati seleret bianglala di binar matanya.
"Demi
apa?"
"Demikian
aku mencintaimu."
Dan
Kupu-kupu mulai menari di perutku, saat ia membenarkan letak kacamatanya.
Surabaya, 18 Mei 2013
#Phie
Hujan dan Kita
Barangkali,
hanya hujan yang berhasil menghadirkan bias wajahmu dengan gamblang. Kamu ada
di sana. Di tiap butirnya yang menganak sungai. Sahabat. Begitu katamu, bukan?
Aku tak mau. Bukan warna ini yang aku lihat di kedua retinamu. Hujan tak pernah
merabunkan hati, Sayang. Sekalipun mati-matian kau bilang, "aku ingin
berteman." Tapi hatimu memintaku bertahan. Aku akan berdiri di sini.
Sendirian. Menunggu kesiapan hatimu yang bimbang. Kesepian.
Barangkali,
hanya hujan yang tahu bagaimana diam menyampaikan rasa. Mengubah warna. Dari mata
ke palung jiwa. Lewat gemerisik suaranya. Berisik ingin mengadu. Aku rindu.
Lewat kecipak bulirnya, saat menyentuh tanah. Haru. Lebur menjadi padu.
Sahabat. Masihkah itu yang kamu mau? Lantas bagaimana dengan hatimu yang kian
biru? Apa yang membuatmu ragu? Hujan tak pernah merabunkan hati, Sayang. Ia tak
lantas membuat warna itu abu-abu di mataku. Rasamu masih biru. Hanya saja,
nalarmu membatu. Pada siapa aku beku?[]
#Phie
Sepotong Masa Lalu
Ada
satu babak dalam potongan masa lalu. Satu episode denganmu yang ingin kuulangi
lagi. Masa-masa bersamamu. Manis dan pahit. Aku ingin sampai di babak itu lagi.
Berkubang bahkan mati di dalamnya.
Aku
ingin mengakhiri kisah itu di sana, saat tawamu lembut menyapa. Saat kesalmu
menggebah manja.
Dulu...
Keinginanku
sebatas keegoisanku yang tabu. Aku lupa diri. Melupakan bagian terpenting
tentang naskah ini. Bahwa kebahagiaan tak hanya tentang aku. Bukan saja tentang
inginku. Melainkan tentang kamu dan inginmu jua.
Kamu
ingin kita sudahi saja. Menulis babak baru dalam naskah panjangmu. Melukis
warna anyar pada kanvas hidupmu. Tanpa aku di dalamnya. Tanpa luka-luka.
Ahh..
Sayang, aku masih ingin episode itu berputar lagi di hadapku. Kan kuperankan
dengan baik seperti arahanmu. Semampuku, bila kau ijinkan. Kemarin itu ucapku.
Tapi
sayang, hari ini kukatakan aku ingin kembali ke sana. Ke babak itu. Ke episode
yang sama. Bukan untuk mengulanginya. Bukan pula untuk berkubang dan mati di
dalamnya.
Aku
ingin kembali, untuk menyelesaikan. Membebaskanmu dari luka. Membebaskan diriku
dari bayang-bayang masa lalu. Aku juga ingin melangkah maju.[]
#Phie
Melati
Genap
dua purnama sudah. Tawamu tak pernah hadir, dan wajahmu tak lagi mampir dalam
mimpi.
Sedang
aku masih saja terbiasa menunggumu. Masih selalu kupendarkan pandang di luar
pintu. Setiap kali fajar menyapa bumi. Setiap kali senja menyelimuti hari. Tak
pernah sekalipun aku berhenti. Mengharap sosokmu kudapati, berlari menghampiri.
Tapi apa yang terjadi? Itu tak pernah ada lagi!
Pagi
telah mengabari, bahwasanya gemintang takkan membinar malam ini. Kamu? Bukan
hanya terlambat pulang, tapi kamu tak akan pernah datang. Pagi ini. Malam ini.
Esok Pagi. Malamnya lagi. Takkan lagi kamu mengunjungi.
Telah
kamu temui cinta yang hakiki, dan kamu memilih pergi, menunaikan janji pada
Illahi Rabbi.
Terakhir
kamu bertamu, meminta ijin undur diri. Kujamu kamu dengan tangis. "Relakan
aku menyambut cinta yang lebih abadi, Dinda. Ikhlasmu, lapangkan jalanku."
Tak sampai nalarku menerka nuranimu, kala itu.
Tapi
kanda, aku akan setia menunggumu. Esok atau lusa aku pasti datang. Kita pasti
kembali dipersatukan dalam keabadian. "Nantikan aku bersama harum
melati.[]
#Phie
BUNCIT, I Miss You :*
Bukan
sekali ini namamu terpampang di layar HP. Memanggil, menjerit-jerit minta
dilirik. Walau seingatku juga, tak sesering ini. Tapi entahlah, sejak kapan
rasa ini melonjak-loncak di dada. Mengghadirkan bahagia yang tumpah ruah di
jiwa. Mengalirkan senyum di bibir serta menjelma rona jingga di wajah.
Untuk
kesekian kalinya dalam sehari ini suaramu menyapa. Tak lama memang, tapi
cukuplah mengobati rasa sepi. Yah, sepi sekitar yang menjalar. Yang tak lain
wujud rindu padamu. Cukup mencengangkan memang mendapati teleponmu bolak balik
hari ini. Tak seperti biasanya. Kamu yang acuh mendadak menghujaniku dengan
perhatian. Apa peduliku? Toh aku senang karenanya. “Tak perlu merindukanku,
dinda. Aku tak kemana, ini hanya sebentar. Takkan lama. Hanya jasad kita yang
terpisah, tapi jiwaku selalu bersamamu di sana,” bisikmu kemudian.
Namun,
kanda. Kamu tahu siapa aku. Aku ini hanya wanita biasanya. Tak bisa, aku raba
hadirnya jiwa. Aku tahu, betapa kamu mencoba menenangkanku. Menentramkan
kegelisahan demi kegelisahan yang hadir karena terpisah jarak darimu, tapi saat
ini aku butuh lebih dari itu. Karenanya mengertilah.
Cepatlah
pulang, kanda. Pada siapa aku merajuk manja saat malam tiba? Saat sepi kembali
meraja. Saat mata-mata terpejam pasrah karena lelahnya. Pada siapa aku berkeluh
kesah? Bercerita tentang hari yang membawa resah. Tentangnya yang tetiba hadir
dalam mimpi, menawarkan rasa baru padamu. Aku cemburu!
Iya,
aku tahu, ini tak lebih dari sekedar mimpi belaka. Bunga tidur kata mereka.
Tapi kanda, cemburu ini benar-benar nyata. Namun, dengan begitu bijak kamu
memahaminya. “Usahlah terlalu dipikirkan, dinda. Di hatiku ini telah penuh akan
namamu. Tak ada lagi tempat untuk yang baru.” Aku tersipu. Betapa aku
mensyukuri, memiliki kamu sebagai pendampingku kini. “Kenapa hari ini tak
mengirimiku kabar seperti biasanya?” tanyamu kemudian. Aku hanya terdiam.
“Kenapa diam?” tanyamu lagi. “Sedih,” jawabku. “Sedih, karena kanda tak pernah
merindukanku, seperti aku merindukan kanda.” Sejenak kulihat sepi beranjak ke tempatmu.
“Aku tak punya rindu untuk kukatakan, dinda. Tapi ia selalu ada untuk aku
buktikan. Inilah mengapa aku menganggumu seharian, menghubungimu berkali-kali
di tengah kesibukan. Karena aku rindu.” Ahh.. Sebelumnya aku pikir, kamu akan
risih pun bosan, setiap hari menemukan pesan “Aku Rindu” di inboxmu, sempat
pula aku pikir, kamu akan menertawakan sikapku yang demikian. karenanya
kuhentikan. Bodohnya aku, kanda, ternyata rindu bukan milikku seorang.
Teleponmu
telah kau matikan. Tapi bahagia karenanya masih ada. Sisa-sisa rindu pun masih
menyala-nyala, hingga aku rampung menuliskan ini sebagai sebuah cerita. Tentang
kita. Aku kangen kamu, Buncit.
Surabaya, 20 Juni 2013
#Phie
Menyublim Bianglala
Mungkin tuan lupa,
Bahwa sajak kita
pernah menyentuh angkasa
Bersama terbuai
lembayung senja
Lalu terlena
keanggunannya
Mungkin tuan lupa,
Bahwasanya cinta
pernah mewarnai mega
Sebelum matari
memantik luka
Jauh sebelum tuan
lihai bermain kata
Mungkin tuan lupa,
Kini semua berbeda
Rinai membilur
dalam luka yang nganga
Harum kepedihan
membumi samudra
Ingatkah tuan,
bagaimana dulu
kita menyublim bianglala?
Menyulapnya
menjadi satu warna; merah muda
Sungguh, aku ingin
mengulanginya!
Pamekasan, 24 Juli 2013
#Phie
Hobi Barumu
Aku baru paham sekarang. Rupanya
akhir-akhir ini kamu punya hobi baru disamping hobi melukismu. Berkawan dengan
mereka, membuatmu memiliki kebiasaan baru itu. Melukaiku. Menyakitiku
berkali-kali.
Ah, aku tak sedang ingin menyalahkan mereka
karena ini. Mereka hanya kawan-kawanmu. Yang dulunya juga pernah menjadi
kawanku. Bukan salah mereka kiranya, jika pada akhirnya kamu turut bertingkah
menyebalkan seperti mereka. Sebut saja itu salahku. Aku tak mengapa, jika kamu
pun mereka melimpahkan semua kesalahan padaku. Sungguh. Aku terima. Toh aku
bukan manusia setengah dewa yang tak pernah alpa. Aku hanya manusia biasa,
tempat salah dan lupa.
Tak mengapa, jika kasih sayang mereka
padamu justru semakin menjauhkan kita. Aku rela. Siapa pula aku ini? Bukan
sesiapamu lagi, kan? Setidaknya sekarang kamu memilikinya. Dia dan mereka, yang
akan selalu di sisimu. Bukan aku, yang mereka tahu, hanya mampu menyakitimu.
Benar begitu, bukan?
Yah, kucukupkan sebatas itulah mereka
mengenalku. Sebatas keinginan mereka untuk tahu, sebatas prasangka miring
mereka tentangku. Tak perlu lebih. Pun tak ada inginku menjelaskan lebih pada
mereka. Aku telah cukup lelah dengan ini. Bagiku, cukup penjelasanku padamu.
Tapi, jika masih kurang menurutmu. Aku lepas tangan dari itu. Kamu jauh lebih
bijak dariku.
Kalaupun setelah tahu, kamu tetap tak mampu
memahamiku, aku memahamimu. Pabila kamu lebih memilih melukaiku dibanding
berusaha lebih mengertiku, aku mengertimu.
Hanya saja, jangan menjadi lebih buruk dari
ini, agar aku pergi. Melupakanmu adalah bagian tersulit dalam kepingan cerita
ini... Aku tak ingin membencimu hanya untuk melupakanmu, jadi usahlah
menyakitiku terlalu jauh hanya untuk mengusirku. Aku akan menjauh seperti
inginmu.
Karena seperti kataku, aku bahagia untukmu
sekalipun aku bukan lagi bahagiamu.
#Phie
Di Situlah Tempatmu
Keputusan yang salah, membalas pesanmu pagi
itu. Berapa lama aku membangun benteng pertahanan di hatiku, agar mampu
bertahan dengan kesedihan ini? dan kini saat aku mulai punya keberanian menatap
dunia lagi, kamu hadir kembali. Dalam sekejap memporak-porandakannya.
Harusnya kuturuti saja saran mereka,
mengacuhkan pesanmu, dan menganggapnya tak pernah ada. "Abaikan, dia cuma
mau buat kamu goyah. Inget bagaimana susahnya kamu melalui ini sampek sekarang.
Aku cuma gak mau liat kamu nangis lagi."
Tapi lihat, siapa yang aku abaikan? Mereka!
Dan saat kamu kembali acuh, aku tahu mereka
benar adanya.
Maafkan aku sobat, mungkin benar aku
terlalu naif berharap ia akan berubah, nyatanya ia masih seperti rubah. Harus
kuakui ada bagian dari diriku yang ingin sekali mengikuti saran kalian.
Ketakutan untuk tersakiti lagi bercokol di sana. Tapi di sisi yang lain hatiku
merindukannya. Masih terlalu merindunya.
Lantas sekarang dapat kalian lihat, sisi
yang mana yang menang atas perdebatan batin itu. Pun setelahnya, kalian tahu
hati siapa yang harus menanggung kekalahan yang kesekian kalinya. Hatiku!
Tapi sobat, usah terlalu khawatirkan aku.
Terkadang, seseorang butuh terluka untuk tahu betapa kuatnya ia. Begitu juga
aku. Sekarang, jikapun harus terluka lagi, aku rasa tak mengapa. Aku telah
kebal olehnya.
Dengan demikian, setelah terluka lagi, aku
tahu tempat yang cocok baginya memanglah di situ, masa lalu. Bukan di masa
depanku.
Cukuplah kalian bagiku. Menyokongku dari
belakang, tanpa lelah menguatkanku. Terimakasih atas persahabatan ini.
Pamekasan, 17 Juli 2013
#Phie
[Ditulis untuk para sahabat, yang
terkadang merasa sarannya diacuhkan... Ketahuilah, kehadiran kalian tak
tergantikan :) ]
Selasa, 12 Maret 2013
BUKAN AKU
Lagi-lagi harus terjebak di jalan. Lalu lalang pengemudi sepeda
sebenarnya sangat mengusikku, apalagi jika harus mendengar bunyi klakson mereka
yang memekakkan telinga. Kadang aku heran, mengapa penduduk di sini begitu tak
sabaran. Traffic light baru saja berubah
hijau, tapi mereka bertingkah seakan-akan diburu sesuatu. Untuk alasan itulah
aku tak pernah menyukai kemacetan di Surabaya.
“Kenapa tak berangkat kemarin saja jika buru-buru?” begitu
gumammu. Selalu membuatku tergelitik jika mengingatnya.
Aku benci harus terjebak macet seperti ini, tapi denganmu semua
berbeda. Seperti senja kali ini. kita menghabiskannya dengan santai menyantap
es goder dan pentol colek di bawah temaramnya lampu kota. Dan untuk pertama
kalinya aku menikmati kemacetan ini. Yah itu karenamu Arman. Aku menikmatinya
dengan cara yang berbeda. Dan untuk pertama kalinya aku menyukai kemacetan ini.
Aku mensyukurinya.
Kamu tahu, sebenarnya aku tak terlalu suka es ini, tapi entah
terbawa suasana atau apa, saat mendengarmu berkata bahwa es ini terasa sedap,
mendadak saja aku juga ingin mengahabiskannya sepertimu. Seperti kita
menghabiskan senja ini dengan mengobrol santai di trotoar seperti ini.
Kamu lihat? Para pengemudi yang kemacetan itu
sedang menatapi kita. Tapi apa pedulimu? Kamu tak pernah memperdulikan hal-hal
kecil semacam itu. Dan terkadang aku juga tak paham, hal-hal seperti apa yang
akan kau perhatikan. Aku ingin seperti itu. Ingin kau perhatikan.
Diam-diam ku pandangi wajahmu yang dihujani sinar lampu senja itu.
Sebentar-sebentar terpejam menikmati sendokan demi sendokan es dogermu. Kamu
begitu menikmatinya. Dan aku menikmati menatap wajahmu seperti ini. Aku mulai
bertanya-tanya, dari mana rasa ini terbit untukmu. Mungkin dari Hidungmu? Matamu?
Rambutmu? Ah.. ya.. juga beberapa helai jenggot yang kau pelihara itu? Dari
sanakah? Aku belum tahu.
Atau mungkin dari kulit yang membalut tubuhmu. Sawo matang,
benar-benar kulit pribumi. Memang benar, aku suka laki-laki berkulit putih,
tapi entah, denganmu ini semacam pengecualian. Warna kulitmu seakan bercerita
tentang hidup. Tentang betapa kerasnya kamu menjalani ini sebagai tulang
punggung keluarga. Tentang bagaimana kerasnya kamu menahan lapar, hanya untuk
sekedar bisa mengirim beberapa rupiah untuk keluargamu di Tanah Minang sana. Warna kulitmu seakan berbicara tentang
kemandirian dan tanggung jawab yang tak mampu kulihat di warna lainnya.
Selain itu, aku masih sangat menyukai cara tertawamu, begitu
lepas. Tanpa beban. Mungkin kamu tak menyadarinya, di kelas kita tak hanya aku,
satu-satunya perempuan yang menyukai cara tertawamu. Tak sengaja aku mendengar
mereka memperbincangkanmu, katanya saat tersenyum kamu terlihat dua kali lebih
manis dari biasanya. Kemudian aku hanya mengangguk setuju, mengiyakan statement mereka dari jauh.
Tiba-tiba sendokanmu berhenti. Aku takut saja, jika ternyata kamu
tahu aku memperhatikanmu. Tapi ternyata tidak, kamu sibuk memperhatikan seorang
bapak di seberang jalan sana. Beliau tengah sibuk menstater sepedanya.
“Ya.. begitu itu, kalo matic. Bawanya sih enak, tapi giliran
mogok.. begh… ruwet.”
“Kenapa abang gak bantuin ajah, abang kan bisa tuh benerin sepeda
motor,” kataku.
Yah, Arman memang tak pandai menghitung nilai integral ataupun
mencari determinan suatu matrik, tapi untuk urusan cowok seperti bongkar mesin
seperti ini dia benar-benar dapat diandalkan.
“Aku gak punya ide,” jawabnya singkat.
“Kan barusan aku udah kasik ide, sekarang abang tinggal jalani
ajah.. hehehe.”
“Maksudnya, aku gak punya ide, mau ku bantu gimana.”
“Ya.. tinggal samperin ajah, bilang.. kenapa pak, mogok ya..? trus
udah deh.. tinggal action ajah..
emang matic ama motorku gitu beda ya penanganannya?” selidikku.
Aku memang benar-benar buta soal mesin dan sebagainya. Menurutku
itu memang bukan bagianku. Tapi kalau di pikir-pikir lagi keren juga sih kalau
ada cewek yang mengerti mesin, seperti si Tika sahabatku.
“Ya sama aja sih, Cuma agak ribet, soalnya mesinnya itu ada
dibawah joknya, jadi harus dibuka semua,” tuturnya memberi penjelasan.
Aku hanya bisa manggut-manggut saja.
“Harus dibantu yah?”
“iya lah, tunjukin kalau abang emang ahli buat yang beginian,”
ujarku sembari tersenyum.
“Ah… bisa-bisamu saja luv,” katanya sambil beranjak dari tempat
duduknya.
Arman menghampiri bapak tadi, dan aku hanya bisa menyusulnya dari
belakang. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena saat ia
berdiri aku bergegas mengembalikan mangkuk es doger kami. Penjualnya sepertinya
telah menunggu terlalu lama.
Dalam sekejap saja mereka sudah terlihat begitu akrab. Arman
akhirnya mulai membongkar matic beliau. Jari jemarinya dengan cekatan membuka
mor-mor yang menancap di sepeda.
Satu, dua, tiga, … Sembilan yah.. kurang lebih sebanyak itulah
mor-mor yang dilepaskannya. Dia mengecek akinya sambil sesekali menstaternya.
Tapi tetap saja nihil.
“Sepertinya tak ada yang salah,” gumamnya. Seakan berbisik pada
angin.
Aku hanya bisa menatapmu dari sini. Duduk disamping matic itu
sambil menyalakan senter dari HP-ku untuk sekedar membantumu.
“Mungkin, businya kotor pak.”
“Masa sih mas? Ini baru seminggu lalu saya serviskan.”
“Saya coba lihat dulu.”
Dengan cekatan dia mulai memeriksa businya. Meniupnya beberapa
kali seperti lilin ulang tahun, sebelum kemudian memasangkannya di tempat semula.
Dan yah… Dia berhasil. Sepeda motor itu akhirnya memilih untuk
mengalah pada perjuangannya.
Bapak tadi tak henti-hentinya mengucap syukur dan terima kasih
padanya. Dan dia hanya tersenyum simpul. Aku juga ikut bahagia. Satu hal yang
ingin kulakukan adalah melompat kearahmu dan mengucapkan selamat. Tapi
kuurungkan, karena melihatmu tersenyum puas seperti itu sudah lebih dari cukup.
Lagi pula, aku harus sadar, aku bukan siapa-siapa.
Bang Arman tahu? melihatmu serius seperti tadi, seperti melihat
belahan dunia yang lain. Berbeda dari yang kulihat biasanya di kelas terutama
saat UAS pagi tadi. Kamu tetap menarik, walaupun cemas menunggu jawaban
kalkulus dari teman-teman. Tapi hari ini, bahkan siluet tubuhmu yang
bermandikan cahaya senja, sangat mempesona. Mengalirkan kehangatan dalam hati.
Bahkan walau dalam keaadaan rambutmu acak-acakan seperti itu.
“Ayo pulang,” katamu penuh
semangat.
“Ye..ye..ye.. berhasil, selamat ya bang.”
“Hahaha.. kebetulan saja.”
“Aish… kau ini, Luvi gak mau muji
abang lagi,” gurauku.
Dia mulai menghidupkan mesin sepeda motor. Tiba-tiba bapak tadi
menghampiri kami.
“Ada yang ketinggalan mas,” ujarnya sambil menyelipakan sesuatu di kantong Arman.
“Loh..pak, ndak usah pak.” Arman mencoba untuk menolaknya. Tapi
bapak tadi sudah berlalu ke tempat sepedanya
lagi.
“Sekali lagi terimakasih ya mas,”
“Sama-sama pak,” jawabku menggantikan Arman yang masih tertegun.
Sekalipun dari belakang punggungnya seperti ini, aku tahu. Ia sungguh bahagia. Semacam rejeki yang tak
terduga-duga.
“Abang buka bengkel aja habis ini…hahaha.”
“hahaha… kamu tahu berapa yang diselipkannya?”
“Ndak, berapa emang bang?”
Arman mengeluakan selembar uang lima puluh ribuan dari kantongnya.
“Subhanallah,” decaknya.
“Alhamdulillah,” sahutku dari belakang.
“jadi, habis ini kita makan-makan nih?”
Makan-makan katamu? Ini semacam alasan untukku lebih lama
disampingmu. Menghabiskan waktu bersamamu. Ini akan jadi malam terakhir kita
bertemu bukan? Liburan semester ganjil, sudah dimulai besok. Dan besok pula
kamu akan kembali ke tempatmu dan
meninggalkan aku disini. Jadi tawaranmu untuk makan-makan ini bagai penawar
racun yang akan mulai kutelan besok. Betapa senangnya aku. Bahkan walau itu
hanya sekedar duduk di sebelahmu. Tanpa
makan atau minum sekalipun. Ya, hanya duduk dan mengobrol saja denganmu, aku
mau.
“Iihhhiiiir…yeyeye..asiiiiik,” sorakku penuh semangat. Mungkin
kalau tak ingat aku sedang berada di atas sepeda motor aku sudah melompat
kegirangan.
“SMS si Tika juga gih..,” lanjutmu.
Dan entah kenapa…senyum di wajahku menghilang seketika. Seperti
disapu bersih oleh polusi kota ini. Seperti
keanggunan senja yang berubah serupa muramnya malam.
Lalu, hati kecilku berbisik mengingatkan. Untuk lebih membuka mata lebih lebar dari yang
seharusnya. Harusnya aku tahu…Tak perlu aku membohongi
diri sejauh ini, karena hasilnya akan tetap sama. Takkan pernah tentangku, karena, mau ku akui atau tidak, di hatinya telah
cukup sesak nama sahabatku Tika, BUKAN namaku,”.
Mati-matian aku mencoba menelan ludahku sendiri. Merutuk dalam
hati. Tak ada yang special dengan malam ini Luvi.. tak ada. Semuanya biasa
saja. Rasa seperti ini bisa terbit pada siapa saja. Tanpa
bisa kau memilihnya. Karena setiap hati telah memilih hati yang akan
disinggahinya dengan sendirinya. Yah dengan sendirinya, tanpa persetujuan
nalar. Demikian dengannya.
Hatimu, bisa saja telah memilih hatinya, tapi disisi lain ternyata
hal itu tak berlaku pula untuk hatinya. Hatinya tak pernah memilih hatimu.
Namun
bagaimanapun, rasa itu terlanjur ku titipkan pada senja hari ini.
“Oh… iya bang,” jawabku getir, yang
kemudian disambut senyum simpul di bibirnya.
Surabaya, 2013
#Phie
#1bulan1buku #KlubBuku
Langganan:
Postingan (Atom)