Rabu, 13 November 2013

The Winner is Me

Aku gak tahu mau mulai dari mana... yang jelas waktu itu, aku lagi-galau-galaunya. Jadi dalam jangka waktu dua minggu sengaja ku non aktifkan HP. Tapi apalah daya, karena kerinduanku yang luar biasa pada membaca dan tulis menulis, akhirnya aku buka lagi. Lagian saat itu aku ingat, beberapa minggu yang lalu aku mengirimkan beberapa tulisanku untuk ikut event lomba tulis menulis yang diadakan beberapa penerbit, dan aku rasa sudah waktunya pengumuman hasil.

Berharap menang dalam sebuah event tulis menulis tentu ada, hanya saja membayangkannya tak pernah. Tulisanku masih jauh dari kata bagus, apalagi sempurna. Namun, satu hal yang pasti aku lakukan saat mengikuti sebuah event adalah bersungguh-sungguh. Sebelum kukirim kucek and ricek lagi tulisanku, apa masih ada typo atau kesalahan EYD. Kubaca lagi, ada patahan yang mengganggu jalannya cerita atau tidak. Kuperhatikan pula syarat-syarat yang ditentukan. Jika sudah puas, baru ku kirimkan. Menurutku, eman banget kalau sampai tulisan kita gagal hanya karena hal sepele macam kesalahan margin dan kawan-kawanya. Ya gak siih? :D

Pagi itu, beberapa mention dari kawan di FB masuk dalam notifikasiku. Daaaan.... eng ing eng... Rasanya mau jungkir balik saking senengnya lihat namaku nampang di situ sebagai juara :D













Dan...
Setelah penantian yang lama buku itu berhasil di tangan saya... *joget joget* hihihi








Sabtu, 27 Juli 2013

EVENT [GADO-GADO CINTA]


New Event : Gado-gado Cinta, It’s All About Love!
25 Juli 2013 pukul 14:00

Dicari! 150 Naskah Bertema C-I-N-T-A
“Ekpresikan Cintamu Lewat Karya! Ekspresikan Karyamu dengan Cinta”

Hai AGPers... gimana kabarmu? Ada yang lagi suntuk ya nungguin info lomba terbaru. Nih, sebagai bukti tanda cinta, Penerbit Alif Gemilang Pressindo bakalan ngadain event baru buat kalian semua. Mau? Atau mau banget?

Oh ya AGPers, tentunya kalian semua pernah ngerasain yang namanya cinta. Mau itu jatuh cinta, putus cinta, sedih karena cinta, galau karena cinta, bahagia karena cinta, atau apa aja deh tentang cinta. Pernah kan? Yang namanya manusia pasti pernah dong?

Nah... event kali ini gak jauh-jauh amat dari hal-hal tersebut, sebab tema lomba kali ini adalah GADO-GADO CINTA, IT’S ALL ABOUT LOVE.

Tuangkan ide kreatifmu tentang C-I-N-T-A dalam bentuk tulisan apa saja; cerita mini, puisi, pantun, cerita lucu, kisah sedih, kisah bahagia, dll. Ingat ya? Cinta itu universal, bukan hanya tentang lawan jenis, boleh tentang orang tua, teman, sahabat, guru, ibu kos, tetangga, hewan peliharaan, pokoknya apa aja deh.... Apa harus kisah nyata? Nah, ini yang buat jadi menarik, cerita/puisi/pantun atau karya apapun yang kamu kirim, boleh hanya berupa imajinasi atau karangan, tidak harus kisah nyata (tapi yang mau kirim true story juga gak dilarang kok.)

Ingat gak banyolan-banyolan Sule yang sering tampil di OVJ, contohnya gini:
Momon : Neng, Papa Neng Pilot ya?
Mimin : Kok Abang tau?
Momon : Soalnya Eneng udah buat hati abang melayang-layang.
Mimin : Ah abang...!

Kalau banyolan gitu boleh gak? Boleh.... boleh.... Yang penting puisi, pantun, cerita mini, dan karya apa saja yang kalian buat harus asli karya dan ide kreatif kalian. Gak boleh nyontek ya?

Jelas kan? Nggak Susah kan? Syaratnya cukup mudah. Silakan kamu tulis kisah tentang cinta tersebut sepanjang maksimal 350 kata, ingat ya, ini maksimalnya, minimalnya terserah. Yang kirim pantun boleh kirim maksimal 5 pantun. Yang kirim puisi boleh kirim 2 judul. Pokoknya keseluruhannya gak boleh lebih dari 350 kata. Ketik rapi, mengunakan font Times New Roman, size 12, Spasi 1,5, kertas A4. Ingat ya? Boleh fiksi dan boleh true story

Kalau sudah ditulis, silakan lampirkan naskah (attachfile) dan kirim ke email: lomba_agp@yahoo.com dengan menulis subject : G2C_nama penulis_jenis tulisan. Contohnya: G2C_Aida_Puisi, atau G2C_Salman_Cerita Lucu, atau G2C_Yamamoto_Pantun, dll. Di bawah naskah, sertakan biodata narasi maksimal 50 kata (tanpa foto). Sertakan pula nama lengkap, nama akun fb, id twitter (kalau ada), alamat lengkap (pakai kode pos), nomor HP dan alamat email aktif.

Event ini berlangsung mulai Hari Ini s/d 25 Agustus 2013, pukul 21:00 WIB.
Pengumuman Peserta Lomba pada 27 Agustus 2013.
Pengumuman Naskah yang lolos dibukukan pada 10 September 2013.
Pengumuman juara 1, 2 dan 3 pada tanggal 30 September 2013.

Kami mencari sedikitnya 150 naskah Gado-gado Cinta (It’s All About Love) paling menarik untuk dibukukan. Untuk ke 150 Kontributor yang naskahnya lolos diwajibkan untuk invest Rp 100.000,- dan akan diberikan 3 eksemplar buku terbit dikirimkan ke alamat kontributor, gratis ongkos kirim seluruh wilayah, alamat Indonesia. (Nggak rugikan dapat 3 eksemplar? Harga normal setelah buku terbit sekitar Rp 50.000, nah buat kontributor bisa untung kan?).

Pembayaran invest Rp 100.000 ribu untuk 150 kontributor dimulai sejak pengumuman kontributor yang naskahnya lolos, yaitu tanggal 10 September 2013 s/d 30 September 2013. Nomor rekening transfer akan diinfokan nanti berbarengan dengan pengumuman naskah yang lolos dibukukan. Bagaimana jika naskahnya lolos tapi tidak kirim invest tersebut? Secara otomatis naskahnya akan didiskualifikasi.

Biar lebih semangat, kami berikan reward untuk 3 karya yang paling menarik menurut kami.
1. Juara 1: Thropy + Paket Buku senilai Rp 300.000,- + 2 buku terbit
2. Juara 2: Thropy + Paket Buku senilai Rp 200.000,- + 2 buku terbit
3. Juara 3: Thropy + Paket Buku senilai Rp 100.000,- + 2 buku terbit

Silahkan share info ini dijejaring sosial apapun yang kamu miliki. Boleh di blog, note fb, twitter, dll.

Selamat Berlomba!

Salam,

Penerbit Alif Gemilang Pressindo

Lelaki [Tak] Biasa

Semalam...



Anda masih di sana dalam jarak yang masih sama rasanya. Namun, dengan begitu jelas saya masih dapat merasakan kepedulian Anda, sekalipun berulang kali Anda mengatakan itu biasa saja. Yah, tak kurang dari puluhan kali anda menyebutnya dalam perbincangan kita semalam. Sayalah yang justru harus bolak-balik menyadarkan diri saya untuk meyakininya. Yah, bahwa ini sekarang tak lebih dari "biasa saja". Sayalah yang harus mati-matian menekan perasaan ini agar tetap di tempatnya, di sana. Sudut paling dasar, agar tak dengan seenaknya menyembul lagi ke permukaan. Setidaknya tidak untuk sekarang ataupun dalam waktu dekat.

 Karena saya yang mengajukan perpisahan dan anda selalu dengan besar hati mengabulkannya, sekalipun saya tahu ini gila bagi anda. Anda tetap mengusahakannya. Seperti ibu peri yang akan senantisa mengajari saya bagaimana menciptakan keajaiban itu sendiri, jika ternyata keajaiban yang saya minta tak dapat diberikan dengan sekali ayunan tongkat ajaibnya. Saya tahu, ini tak mudah bagi anda untuk dapat dengan cepat meloloskannya. Saya tahu, anda pasti bertanya-tanya alasan di balik pengajuan 'ajaib' ini. Bahkan saya paham jika anda menyebut ini sebagai permintaan gila. Yah, saya memahaminya dengan baik. Tapi, seperti biasa, anda akan selalu menjungjung kebahagiaan saya di atas segalanya, jadi anda pun mengabulkannya.

Tidak mudah memang.
Tidak bagi saya, pun bagi anda.
Karenanya, saya sangat mensyukuri karena hingga kini anda masih tetap di sisi saya. Senantiasa menjadi sandaran. Senantiasa bersedia meminjamkan bahu dan telinga saat saya melemah. Terimakasih atas segala bentuk kepedulian yang 'biasa' ini. Terimakasih atas kedewasaan anda menanggapi ketakdewasaan, sifat kekanak-kanakan dan tingkah manja saya, selama ini. Terimakasih Atas kehangatan sikap Anda, sekalipun saya tahu anda justru ingin ini terlihat sebagai suatu kebekuan. Terimakasih karena hingga kini, Anda masih menjadi seperti Anda yang saya kenal dulu.

Saya selalu mensyukuri setiap putaran waktu yang pernah kita singgahi bersama. Takkan pernah sedikitpun menyesalinya. Dan semalam anda kembali membuat saya mensyukurinya. Atas kebijaksanaan anda menyikapi tudingan-tudingan miring itu, yang lagi-lagi anda menyebutnya 'biasa'. Terimakasih untuk pemahamannya.

Baiklah!

Sebaiknya memang seperti ini saja dulu. Kita sibukkan diri kita masing-masing dengan rutinitas yang kita miliki sekarang. Mengejar apa yang kita sebut sebagai cita-cita. Membangun apa yang kita namai sebagai bakti anak, pada mereka. Terlebih, untuk mulai menata ulang apa yang dari kecil kita kenal sebagai IMTAQ, yang kemudian mulai kita sisihkan saat kita beranjak dewasa.

Biarlah untuk sementara ini, kita kesampingkan apa yang kita sebut cinta dan mulai memasrahkannya pada sang Pemilik Cinta. Karena, sungguh kita sama-sama tahu, bahwa hanya Dialah yang memiliki kekuasaan penuh atas segala rasa yang bergejolak dalam dada. Berdoa saja, bahwa kelak hati kita masih dapat dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik dari ini.

 Ah ya satu lagi. Satu saja.
Suatu saat, saya harap anda dapat pula memahami ini semua. Memahami bahwa keputusan gila yang saya ambil ini tak lain untuk kebahagiaan kita, kelak. Saat nafas tak lagi jadi milik kita. Karena, bagi saya... Anda lebih dari BIASA.




Surabaya, 15 Juli 2013
#Phie
[BIG thanx buat yang menginsirasi saya sehingga dapat menulis ini :D. Kusebut kamu, LUAR BIASA!]

Demi Apa?

Aku pernah bertanya, "Dosakah pabila aku meminta kematian sekarang?" dan kamu hanya menjawabku dengan tersenyum. Menenangkan. Mengusap kepalaku dengan sabar. "Ndak, Vi... Tapi sangat disayangkan kalau kamu memintanya datang lebih awal."
"Kenapa?"
"Kenapa harus meminta kematian? tanpa kamu pinta ia pasti akan datang. Entah sekarang, esok, esok lusa atau kapan. Siapkanlah bekal, sebelum ia datang. Sudah cukupkah? Sudahlah... Tak perlu kamu gubris ocehan mereka. Tak ada untungnya. Kamu justru terlihat lemah. Putus asa."
"Lalu aku harus meminta apa?"
"Mintalah kebahagiaan. Untukmu. Untukku. Untuk mereka."
Kutatap matanya lekat-lekat. Tak paham jalan pikirannya.
"Mereka? Yang selalu menatap miring ke arahku? Yang selalu mencaciku, tanpa tahu alasanku. Untuk apa aku mendoakan kebahagiaan mereka?"
"Untuk Kita. Mereka yang membencimu, sengaja diutus untuk mendewasakanmu. Untuk menguatkan kita."
"Benarkah?" Untuk kesekian kalinya bulan sabit pindah ke bibirnya.
"Kurasa mereka hanya tahu menghujat saja. Semua yang kulakukan salah di mata mereka. Seolah mereka tak punya cela!"
"Ayolah, kalau kamu masih mengeluhkannya, kamu takkan pernah menjadi lebih baik dari yang sudah-sudah. Kamu lihat cangkir keramik ini. Ia harus ditempa berkali kali. Dioven dengan panas yang luar biasa, dalam waktu yang lama... Agar bisa dipajang dengan anggun di etalase toko. Kemudian dijual dengan harga mahal," ujarnya sembari menyeruput tehnya yang mulai dingin. Menyesapnya sedikit demi sedikit.
"Tuhan sedang ingin meninggikan kwalitasmu. Sekarang tergantung pilihanmu. Bertahan atau menyerah! Kebahagiaan bukan suatu kebetulan, Vi. Ia nama lain dari ikhtiar, tawakal dan sabar."
Aku mendengarkannya khidmat. Tak pernah bosan mendengar petuah-petuahnya. Ia bukan ustadz. Bukan pula motivator besar. Ia hanya seorang pribadi yang sederhana. Yang selalu positif memaknai segala.
"Terima kasih, aku hanya lelah menjadi bulan-bulanan sikap sinting mereka."
"Itu bentuk lain kepedulian mereka padamu, pahamilah... Masih banyak yang menunjukkan kasihnya dengan cara yang kau suka. Syukuri saja... "
"Seperti caramu sekarang?"
"Bisa jadi begitu." Kudapati seleret bianglala di binar matanya.
"Demi apa?"
"Demikian aku mencintaimu."
Dan Kupu-kupu mulai menari di perutku, saat ia membenarkan letak kacamatanya.


Surabaya, 18 Mei 2013
#Phie

Hujan dan Kita

Barangkali, hanya hujan yang berhasil menghadirkan bias wajahmu dengan gamblang. Kamu ada di sana. Di tiap butirnya yang menganak sungai. Sahabat. Begitu katamu, bukan? Aku tak mau. Bukan warna ini yang aku lihat di kedua retinamu. Hujan tak pernah merabunkan hati, Sayang. Sekalipun mati-matian kau bilang, "aku ingin berteman." Tapi hatimu memintaku bertahan. Aku akan berdiri di sini. Sendirian. Menunggu kesiapan hatimu yang bimbang. Kesepian.
 Barangkali, hanya hujan yang tahu bagaimana diam menyampaikan rasa. Mengubah warna. Dari mata ke palung jiwa. Lewat gemerisik suaranya. Berisik ingin mengadu. Aku rindu. Lewat kecipak bulirnya, saat menyentuh tanah. Haru. Lebur menjadi padu. Sahabat. Masihkah itu yang kamu mau? Lantas bagaimana dengan hatimu yang kian biru? Apa yang membuatmu ragu? Hujan tak pernah merabunkan hati, Sayang. Ia tak lantas membuat warna itu abu-abu di mataku. Rasamu masih biru. Hanya saja, nalarmu membatu. Pada siapa aku beku?[]

#Phie

Sepotong Masa Lalu


Ada satu babak dalam potongan masa lalu. Satu episode denganmu yang ingin kuulangi lagi. Masa-masa bersamamu. Manis dan pahit. Aku ingin sampai di babak itu lagi. Berkubang bahkan mati di dalamnya.
Aku ingin mengakhiri kisah itu di sana, saat tawamu lembut menyapa. Saat kesalmu menggebah manja.
Dulu...
Keinginanku sebatas keegoisanku yang tabu. Aku lupa diri. Melupakan bagian terpenting tentang naskah ini. Bahwa kebahagiaan tak hanya tentang aku. Bukan saja tentang inginku. Melainkan tentang kamu dan inginmu jua.
Kamu ingin kita sudahi saja. Menulis babak baru dalam naskah panjangmu. Melukis warna anyar pada kanvas hidupmu. Tanpa aku di dalamnya. Tanpa luka-luka.
Ahh.. Sayang, aku masih ingin episode itu berputar lagi di hadapku. Kan kuperankan dengan baik seperti arahanmu. Semampuku, bila kau ijinkan. Kemarin itu ucapku.
Tapi sayang, hari ini kukatakan aku ingin kembali ke sana. Ke babak itu. Ke episode yang sama. Bukan untuk mengulanginya. Bukan pula untuk berkubang dan mati di dalamnya.
Aku ingin kembali, untuk menyelesaikan. Membebaskanmu dari luka. Membebaskan diriku dari bayang-bayang masa lalu. Aku juga ingin melangkah maju.[]


#Phie


 

Melati

Genap dua purnama sudah. Tawamu tak pernah hadir, dan wajahmu tak lagi mampir dalam mimpi.
Sedang aku masih saja terbiasa menunggumu. Masih selalu kupendarkan pandang di luar pintu. Setiap kali fajar menyapa bumi. Setiap kali senja menyelimuti hari. Tak pernah sekalipun aku berhenti. Mengharap sosokmu kudapati, berlari menghampiri. Tapi apa yang terjadi? Itu tak pernah ada lagi!

Pagi telah mengabari, bahwasanya gemintang takkan membinar malam ini. Kamu? Bukan hanya terlambat pulang, tapi kamu tak akan pernah datang. Pagi ini. Malam ini. Esok Pagi. Malamnya lagi. Takkan lagi kamu mengunjungi.

Telah kamu temui cinta yang hakiki, dan kamu memilih pergi, menunaikan janji pada Illahi Rabbi.

Terakhir kamu bertamu, meminta ijin undur diri. Kujamu kamu dengan tangis. "Relakan aku menyambut cinta yang lebih abadi, Dinda. Ikhlasmu, lapangkan jalanku." Tak sampai nalarku menerka nuranimu, kala itu.

Tapi kanda, aku akan setia menunggumu. Esok atau lusa aku pasti datang. Kita pasti kembali dipersatukan dalam keabadian. "Nantikan aku bersama harum melati.[]


#Phie






BUNCIT, I Miss You :*

Bukan sekali ini namamu terpampang di layar HP. Memanggil, menjerit-jerit minta dilirik. Walau seingatku juga, tak sesering ini. Tapi entahlah, sejak kapan rasa ini melonjak-loncak di dada. Mengghadirkan bahagia yang tumpah ruah di jiwa. Mengalirkan senyum di bibir serta menjelma rona  jingga di wajah.
Untuk kesekian kalinya dalam sehari ini suaramu menyapa. Tak lama memang, tapi cukuplah mengobati rasa sepi. Yah, sepi sekitar yang menjalar. Yang tak lain wujud rindu padamu. Cukup mencengangkan memang mendapati teleponmu bolak balik hari ini. Tak seperti biasanya. Kamu yang acuh mendadak menghujaniku dengan perhatian. Apa peduliku? Toh aku senang karenanya. “Tak perlu merindukanku, dinda. Aku tak kemana, ini hanya sebentar. Takkan lama. Hanya jasad kita yang terpisah, tapi jiwaku selalu bersamamu di sana,” bisikmu kemudian.
Namun, kanda. Kamu tahu siapa aku. Aku ini hanya wanita biasanya. Tak bisa, aku raba hadirnya jiwa. Aku tahu, betapa kamu mencoba menenangkanku. Menentramkan kegelisahan demi kegelisahan yang hadir karena terpisah jarak darimu, tapi saat ini aku butuh lebih dari itu. Karenanya mengertilah.
Cepatlah pulang, kanda. Pada siapa aku merajuk manja saat malam tiba? Saat sepi kembali meraja. Saat mata-mata terpejam pasrah karena lelahnya. Pada siapa aku berkeluh kesah? Bercerita tentang hari yang membawa resah. Tentangnya yang tetiba hadir dalam mimpi, menawarkan rasa baru padamu. Aku cemburu!
Iya, aku tahu, ini tak lebih dari sekedar mimpi belaka. Bunga tidur kata mereka. Tapi kanda, cemburu ini benar-benar nyata. Namun, dengan begitu bijak kamu memahaminya. “Usahlah terlalu dipikirkan, dinda. Di hatiku ini telah penuh akan namamu. Tak ada lagi tempat untuk yang baru.” Aku tersipu. Betapa aku mensyukuri, memiliki kamu sebagai pendampingku kini. “Kenapa hari ini tak mengirimiku kabar seperti biasanya?” tanyamu kemudian. Aku hanya terdiam. “Kenapa diam?” tanyamu lagi. “Sedih,” jawabku. “Sedih, karena kanda tak pernah merindukanku, seperti aku merindukan kanda.” Sejenak kulihat sepi beranjak ke tempatmu. “Aku tak punya rindu untuk kukatakan, dinda. Tapi ia selalu ada untuk aku buktikan. Inilah mengapa aku menganggumu seharian, menghubungimu berkali-kali di tengah kesibukan. Karena aku rindu.” Ahh.. Sebelumnya aku pikir, kamu akan risih pun bosan, setiap hari menemukan pesan “Aku Rindu” di inboxmu, sempat pula aku pikir, kamu akan menertawakan sikapku yang demikian. karenanya kuhentikan. Bodohnya aku, kanda, ternyata rindu bukan milikku seorang.
Teleponmu telah kau matikan. Tapi bahagia karenanya masih ada. Sisa-sisa rindu pun masih menyala-nyala, hingga aku rampung menuliskan ini sebagai sebuah cerita. Tentang kita. Aku kangen kamu, Buncit.



Surabaya, 20 Juni 2013
#Phie

Menyublim Bianglala

Mungkin tuan lupa,
Bahwa sajak kita pernah menyentuh angkasa
Bersama terbuai lembayung senja
Lalu terlena keanggunannya

Mungkin tuan lupa,
Bahwasanya cinta pernah mewarnai mega
Sebelum matari memantik luka
Jauh sebelum tuan lihai bermain kata

Mungkin tuan lupa,
Kini semua berbeda
Rinai membilur dalam luka yang nganga
Harum kepedihan membumi samudra

Ingatkah tuan,
bagaimana dulu kita menyublim bianglala?
Menyulapnya menjadi satu warna; merah muda

Sungguh, aku ingin mengulanginya!


Pamekasan, 24 Juli 2013
#Phie

Hobi Barumu

Aku baru paham sekarang. Rupanya akhir-akhir ini kamu punya hobi baru disamping hobi melukismu. Berkawan dengan mereka, membuatmu memiliki kebiasaan baru itu. Melukaiku. Menyakitiku berkali-kali.

Ah, aku tak sedang ingin menyalahkan mereka karena ini. Mereka hanya kawan-kawanmu. Yang dulunya juga pernah menjadi kawanku. Bukan salah mereka kiranya, jika pada akhirnya kamu turut bertingkah menyebalkan seperti mereka. Sebut saja itu salahku. Aku tak mengapa, jika kamu pun mereka melimpahkan semua kesalahan padaku. Sungguh. Aku terima. Toh aku bukan manusia setengah dewa yang tak pernah alpa. Aku hanya manusia biasa, tempat salah dan lupa.

Tak mengapa, jika kasih sayang mereka padamu justru semakin menjauhkan kita. Aku rela. Siapa pula aku ini? Bukan sesiapamu lagi, kan? Setidaknya sekarang kamu memilikinya. Dia dan mereka, yang akan selalu di sisimu. Bukan aku, yang mereka tahu, hanya mampu menyakitimu. Benar begitu, bukan?

Yah, kucukupkan sebatas itulah mereka mengenalku. Sebatas keinginan mereka untuk tahu, sebatas prasangka miring mereka tentangku. Tak perlu lebih. Pun tak ada inginku menjelaskan lebih pada mereka. Aku telah cukup lelah dengan ini. Bagiku, cukup penjelasanku padamu. Tapi, jika masih kurang menurutmu. Aku lepas tangan dari itu. Kamu jauh lebih bijak dariku.

Kalaupun setelah tahu, kamu tetap tak mampu memahamiku, aku memahamimu. Pabila kamu lebih memilih melukaiku dibanding berusaha lebih mengertiku, aku mengertimu.

Hanya saja, jangan menjadi lebih buruk dari ini, agar aku pergi. Melupakanmu adalah bagian tersulit dalam kepingan cerita ini... Aku tak ingin membencimu hanya untuk melupakanmu, jadi usahlah menyakitiku terlalu jauh hanya untuk mengusirku. Aku akan menjauh seperti inginmu.

Karena seperti kataku, aku bahagia untukmu sekalipun aku bukan lagi bahagiamu.


#Phie

Di Situlah Tempatmu

Keputusan yang salah, membalas pesanmu pagi itu. Berapa lama aku membangun benteng pertahanan di hatiku, agar mampu bertahan dengan kesedihan ini? dan kini saat aku mulai punya keberanian menatap dunia lagi, kamu hadir kembali. Dalam sekejap memporak-porandakannya.

Harusnya kuturuti saja saran mereka, mengacuhkan pesanmu, dan menganggapnya tak pernah ada. "Abaikan, dia cuma mau buat kamu goyah. Inget bagaimana susahnya kamu melalui ini sampek sekarang. Aku cuma gak mau liat kamu nangis lagi."
Tapi lihat, siapa yang aku abaikan? Mereka!

Dan saat kamu kembali acuh, aku tahu mereka benar adanya.

Maafkan aku sobat, mungkin benar aku terlalu naif berharap ia akan berubah, nyatanya ia masih seperti rubah. Harus kuakui ada bagian dari diriku yang ingin sekali mengikuti saran kalian. Ketakutan untuk tersakiti lagi bercokol di sana. Tapi di sisi yang lain hatiku merindukannya. Masih terlalu merindunya.

Lantas sekarang dapat kalian lihat, sisi yang mana yang menang atas perdebatan batin itu. Pun setelahnya, kalian tahu hati siapa yang harus menanggung kekalahan yang kesekian kalinya. Hatiku!

Tapi sobat, usah terlalu khawatirkan aku. Terkadang, seseorang butuh terluka untuk tahu betapa kuatnya ia. Begitu juga aku. Sekarang, jikapun harus terluka lagi, aku rasa tak mengapa. Aku telah kebal olehnya.

Dengan demikian, setelah terluka lagi, aku tahu tempat yang cocok baginya memanglah di situ, masa lalu. Bukan di masa depanku.

Cukuplah kalian bagiku. Menyokongku dari belakang, tanpa lelah menguatkanku. Terimakasih atas persahabatan ini.



Pamekasan, 17 Juli 2013
#Phie
[Ditulis untuk para sahabat, yang terkadang merasa sarannya diacuhkan... Ketahuilah, kehadiran kalian tak tergantikan :) ]

Selasa, 12 Maret 2013

BUKAN AKU


Pic: Foto Pribadi at Pantai Gersik Putih - Kalianget
 
Lagi-lagi harus terjebak di jalan. Lalu lalang pengemudi sepeda sebenarnya sangat mengusikku, apalagi jika harus mendengar bunyi klakson mereka yang memekakkan telinga. Kadang aku heran, mengapa penduduk di sini begitu tak sabaran. Traffic light baru saja berubah hijau, tapi mereka bertingkah seakan-akan diburu sesuatu. Untuk alasan itulah aku tak pernah menyukai kemacetan di Surabaya. 

“Kenapa tak berangkat kemarin saja jika buru-buru?” begitu gumammu. Selalu membuatku tergelitik jika mengingatnya. 

Aku benci harus terjebak macet seperti ini, tapi denganmu semua berbeda. Seperti senja kali ini. kita menghabiskannya dengan santai menyantap es goder dan pentol colek di bawah temaramnya lampu kota. Dan untuk pertama kalinya aku menikmati kemacetan ini. Yah itu karenamu Arman. Aku menikmatinya dengan cara yang berbeda. Dan untuk pertama kalinya aku menyukai kemacetan ini. Aku mensyukurinya.

Kamu tahu, sebenarnya aku tak terlalu suka es ini, tapi entah terbawa suasana atau apa, saat mendengarmu berkata bahwa es ini terasa sedap, mendadak saja aku juga ingin mengahabiskannya sepertimu. Seperti kita menghabiskan senja ini dengan mengobrol santai di trotoar seperti ini. 

Kamu lihat? Para pengemudi yang kemacetan itu sedang menatapi kita. Tapi apa pedulimu? Kamu tak pernah memperdulikan hal-hal kecil semacam itu. Dan terkadang aku juga tak paham, hal-hal seperti apa yang akan kau perhatikan. Aku ingin seperti itu. Ingin kau perhatikan.

Diam-diam ku pandangi wajahmu yang dihujani sinar lampu senja itu. Sebentar-sebentar terpejam menikmati sendokan demi sendokan es dogermu. Kamu begitu menikmatinya. Dan aku menikmati menatap wajahmu seperti ini. Aku mulai bertanya-tanya, dari mana rasa ini terbit untukmu. Mungkin dari Hidungmu? Matamu? Rambutmu? Ah.. ya.. juga beberapa helai jenggot yang kau pelihara itu? Dari sanakah? Aku belum tahu. 

Atau mungkin dari kulit yang membalut tubuhmu. Sawo matang, benar-benar kulit pribumi. Memang benar, aku suka laki-laki berkulit putih, tapi entah, denganmu ini semacam pengecualian. Warna kulitmu seakan bercerita tentang hidup. Tentang betapa kerasnya kamu menjalani ini sebagai tulang punggung keluarga. Tentang bagaimana kerasnya kamu menahan lapar, hanya untuk sekedar bisa mengirim beberapa rupiah untuk keluargamu di Tanah Minang sana. Warna kulitmu seakan berbicara tentang kemandirian dan tanggung jawab yang tak mampu kulihat di warna lainnya

Selain itu, aku masih sangat menyukai cara tertawamu, begitu lepas. Tanpa beban. Mungkin kamu tak menyadarinya, di kelas kita tak hanya aku, satu-satunya perempuan yang menyukai cara tertawamu. Tak sengaja aku mendengar mereka memperbincangkanmu, katanya saat tersenyum kamu terlihat dua kali lebih manis dari biasanya. Kemudian aku hanya mengangguk setuju, mengiyakan statement mereka dari jauh.

Tiba-tiba sendokanmu berhenti. Aku takut saja, jika ternyata kamu tahu aku memperhatikanmu. Tapi ternyata tidak, kamu sibuk memperhatikan seorang bapak di seberang jalan sana. Beliau tengah sibuk menstater sepedanya.

“Ya.. begitu itu, kalo matic. Bawanya sih enak, tapi giliran mogok.. begh… ruwet.”
“Kenapa abang gak bantuin ajah, abang kan bisa tuh benerin sepeda motor,” kataku.
Yah, Arman memang tak pandai menghitung nilai integral ataupun mencari determinan suatu matrik, tapi untuk urusan cowok seperti bongkar mesin seperti ini dia benar-benar dapat diandalkan.
“Aku gak punya ide,” jawabnya singkat.
“Kan barusan aku udah kasik ide, sekarang abang tinggal jalani ajah.. hehehe.”
“Maksudnya, aku gak punya ide, mau ku bantu gimana.”
“Ya.. tinggal samperin ajah, bilang.. kenapa pak, mogok ya..? trus udah deh.. tinggal action ajah.. emang matic ama motorku gitu beda ya penanganannya?” selidikku.

Aku memang benar-benar buta soal mesin dan sebagainya. Menurutku itu memang bukan bagianku. Tapi kalau di pikir-pikir lagi keren juga sih kalau ada cewek yang mengerti mesin, seperti si Tika sahabatku.

“Ya sama aja sih, Cuma agak ribet, soalnya mesinnya itu ada dibawah joknya, jadi harus dibuka semua,” tuturnya memberi penjelasan.
Aku hanya bisa manggut-manggut saja.
“Harus dibantu yah?”
“iya lah, tunjukin kalau abang emang ahli buat yang beginian,” ujarku sembari tersenyum.
“Ah… bisa-bisamu saja luv,” katanya sambil beranjak dari tempat duduknya.

Arman menghampiri bapak tadi, dan aku hanya bisa menyusulnya dari belakang. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena saat ia berdiri aku bergegas mengembalikan mangkuk es doger kami. Penjualnya sepertinya telah menunggu terlalu lama.

Dalam sekejap saja mereka sudah terlihat begitu akrab. Arman akhirnya mulai membongkar matic beliau. Jari jemarinya dengan cekatan membuka mor-mor yang menancap di sepeda. 

Satu, dua, tiga, … Sembilan yah.. kurang lebih sebanyak itulah mor-mor yang dilepaskannya. Dia mengecek akinya sambil sesekali menstaternya. Tapi tetap saja nihil.
“Sepertinya tak ada yang salah,” gumamnya. Seakan berbisik pada angin.
Aku hanya bisa menatapmu dari sini. Duduk disamping matic itu sambil menyalakan senter dari HP-ku untuk sekedar membantumu.
“Mungkin, businya kotor pak.”
“Masa sih mas? Ini baru seminggu lalu saya serviskan.”
“Saya coba lihat dulu.”

Dengan cekatan dia mulai memeriksa businya. Meniupnya beberapa kali seperti lilin ulang tahun, sebelum kemudian memasangkannya di tempat semula.
Dan yah… Dia berhasil. Sepeda motor itu akhirnya memilih untuk mengalah pada perjuangannya.

Bapak tadi tak henti-hentinya mengucap syukur dan terima kasih padanya. Dan dia hanya tersenyum simpul. Aku juga ikut bahagia. Satu hal yang ingin kulakukan adalah melompat kearahmu dan mengucapkan selamat. Tapi kuurungkan, karena melihatmu tersenyum puas seperti itu sudah lebih dari cukup. Lagi pula, aku harus sadar, aku bukan siapa-siapa.

Bang Arman tahu? melihatmu serius seperti tadi, seperti melihat belahan dunia yang lain. Berbeda dari yang kulihat biasanya di kelas terutama saat UAS pagi tadi. Kamu tetap menarik, walaupun cemas menunggu jawaban kalkulus dari teman-teman. Tapi hari ini, bahkan siluet tubuhmu yang bermandikan cahaya senja, sangat mempesona. Mengalirkan kehangatan dalam hati. Bahkan walau dalam keaadaan rambutmu acak-acakan seperti itu.

“Ayo pulang,” katamu penuh semangat.
“Ye..ye..ye.. berhasil, selamat ya bang.”
“Hahaha.. kebetulan saja.”
“Aish… kau ini, Luvi gak mau muji abang lagi,” gurauku.
Dia mulai menghidupkan mesin sepeda motor. Tiba-tiba bapak tadi menghampiri kami.
“Ada yang ketinggalan mas,” ujarnya sambil menyelipakan sesuatu di kantong Arman.
“Loh..pak, ndak usah pak.” Arman mencoba untuk menolaknya. Tapi bapak tadi sudah berlalu ke tempat sepedanya lagi.
“Sekali lagi terimakasih ya mas,”
“Sama-sama pak,” jawabku menggantikan Arman yang masih tertegun.
Sekalipun dari belakang punggungnya seperti ini, aku tahu. Ia sungguh bahagia. Semacam rejeki yang tak terduga-duga.
“Abang buka bengkel aja habis ini…hahaha.”
“hahaha… kamu tahu berapa yang diselipkannya?”
“Ndak, berapa emang bang?”
Arman mengeluakan selembar uang lima puluh ribuan dari kantongnya.
“Subhanallah,” decaknya.
“Alhamdulillah,” sahutku dari belakang.
“jadi, habis ini kita makan-makan nih?”

Makan-makan katamu? Ini semacam alasan untukku lebih lama disampingmu. Menghabiskan waktu bersamamu. Ini akan jadi malam terakhir kita bertemu bukan? Liburan semester ganjil, sudah dimulai besok. Dan besok pula kamu akan kembali ke tempatmu dan meninggalkan aku disini. Jadi tawaranmu untuk makan-makan ini bagai penawar racun yang akan mulai kutelan besok. Betapa senangnya aku. Bahkan walau itu hanya sekedar duduk di sebelahmu. Tanpa makan atau minum sekalipun. Ya, hanya duduk dan mengobrol saja denganmu, aku mau.

“Iihhhiiiir…yeyeye..asiiiiik,” sorakku penuh semangat. Mungkin kalau tak ingat aku sedang berada di atas sepeda motor aku sudah melompat kegirangan.
“SMS si Tika juga gih..,” lanjutmu.

Dan entah kenapa…senyum di wajahku menghilang seketika. Seperti disapu bersih oleh polusi kota ini. Seperti keanggunan senja yang berubah serupa muramnya malam.

Lalu, hati kecilku berbisik mengingatkan. Untuk lebih membuka mata lebih lebar dari yang seharusnya. Harusnya aku tahu…Tak perlu aku membohongi diri sejauh ini, karena hasilnya akan tetap sama. Takkan pernah tentangku, karena, mau ku akui atau tidak, di hatinya telah cukup sesak nama sahabatku Tika,  BUKAN namaku,.
 
Mati-matian aku mencoba menelan ludahku sendiri. Merutuk dalam hati. Tak ada yang special dengan malam ini Luvi.. tak ada. Semuanya biasa saja. Rasa seperti ini bisa terbit pada siapa saja. Tanpa bisa kau memilihnya. Karena setiap hati telah memilih hati yang akan disinggahinya dengan sendirinya. Yah dengan sendirinya, tanpa persetujuan nalar. Demikian dengannya. 

Hatimu, bisa saja telah memilih hatinya, tapi disisi lain ternyata hal itu tak berlaku pula untuk hatinya. Hatinya tak pernah memilih hatimu.

Namun bagaimanapun, rasa itu terlanjur ku titipkan pada senja hari ini.

“Oh… iya bang,” jawabku getir, yang kemudian disambut senyum simpul di bibirnya.




Surabaya, 2013

#Phie
#1bulan1buku #KlubBuku