Bukan
sekali ini namamu terpampang di layar HP. Memanggil, menjerit-jerit minta
dilirik. Walau seingatku juga, tak sesering ini. Tapi entahlah, sejak kapan
rasa ini melonjak-loncak di dada. Mengghadirkan bahagia yang tumpah ruah di
jiwa. Mengalirkan senyum di bibir serta menjelma rona jingga di wajah.
Untuk
kesekian kalinya dalam sehari ini suaramu menyapa. Tak lama memang, tapi
cukuplah mengobati rasa sepi. Yah, sepi sekitar yang menjalar. Yang tak lain
wujud rindu padamu. Cukup mencengangkan memang mendapati teleponmu bolak balik
hari ini. Tak seperti biasanya. Kamu yang acuh mendadak menghujaniku dengan
perhatian. Apa peduliku? Toh aku senang karenanya. “Tak perlu merindukanku,
dinda. Aku tak kemana, ini hanya sebentar. Takkan lama. Hanya jasad kita yang
terpisah, tapi jiwaku selalu bersamamu di sana,” bisikmu kemudian.
Namun,
kanda. Kamu tahu siapa aku. Aku ini hanya wanita biasanya. Tak bisa, aku raba
hadirnya jiwa. Aku tahu, betapa kamu mencoba menenangkanku. Menentramkan
kegelisahan demi kegelisahan yang hadir karena terpisah jarak darimu, tapi saat
ini aku butuh lebih dari itu. Karenanya mengertilah.
Cepatlah
pulang, kanda. Pada siapa aku merajuk manja saat malam tiba? Saat sepi kembali
meraja. Saat mata-mata terpejam pasrah karena lelahnya. Pada siapa aku berkeluh
kesah? Bercerita tentang hari yang membawa resah. Tentangnya yang tetiba hadir
dalam mimpi, menawarkan rasa baru padamu. Aku cemburu!
Iya,
aku tahu, ini tak lebih dari sekedar mimpi belaka. Bunga tidur kata mereka.
Tapi kanda, cemburu ini benar-benar nyata. Namun, dengan begitu bijak kamu
memahaminya. “Usahlah terlalu dipikirkan, dinda. Di hatiku ini telah penuh akan
namamu. Tak ada lagi tempat untuk yang baru.” Aku tersipu. Betapa aku
mensyukuri, memiliki kamu sebagai pendampingku kini. “Kenapa hari ini tak
mengirimiku kabar seperti biasanya?” tanyamu kemudian. Aku hanya terdiam.
“Kenapa diam?” tanyamu lagi. “Sedih,” jawabku. “Sedih, karena kanda tak pernah
merindukanku, seperti aku merindukan kanda.” Sejenak kulihat sepi beranjak ke tempatmu.
“Aku tak punya rindu untuk kukatakan, dinda. Tapi ia selalu ada untuk aku
buktikan. Inilah mengapa aku menganggumu seharian, menghubungimu berkali-kali
di tengah kesibukan. Karena aku rindu.” Ahh.. Sebelumnya aku pikir, kamu akan
risih pun bosan, setiap hari menemukan pesan “Aku Rindu” di inboxmu, sempat
pula aku pikir, kamu akan menertawakan sikapku yang demikian. karenanya
kuhentikan. Bodohnya aku, kanda, ternyata rindu bukan milikku seorang.
Teleponmu
telah kau matikan. Tapi bahagia karenanya masih ada. Sisa-sisa rindu pun masih
menyala-nyala, hingga aku rampung menuliskan ini sebagai sebuah cerita. Tentang
kita. Aku kangen kamu, Buncit.
Surabaya, 20 Juni 2013
#Phie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar