Aku
pernah bertanya, "Dosakah pabila aku meminta kematian sekarang?" dan
kamu hanya menjawabku dengan tersenyum. Menenangkan. Mengusap kepalaku dengan
sabar. "Ndak, Vi... Tapi sangat disayangkan kalau kamu memintanya datang
lebih awal."
"Kenapa?"
"Kenapa
harus meminta kematian? tanpa kamu pinta ia pasti akan datang. Entah sekarang,
esok, esok lusa atau kapan. Siapkanlah bekal, sebelum ia datang. Sudah
cukupkah? Sudahlah... Tak perlu kamu gubris ocehan mereka. Tak ada untungnya.
Kamu justru terlihat lemah. Putus asa."
"Lalu
aku harus meminta apa?"
"Mintalah
kebahagiaan. Untukmu. Untukku. Untuk mereka."
Kutatap
matanya lekat-lekat. Tak paham jalan pikirannya.
"Mereka?
Yang selalu menatap miring ke arahku? Yang selalu mencaciku, tanpa tahu
alasanku. Untuk apa aku mendoakan kebahagiaan mereka?"
"Untuk
Kita. Mereka yang membencimu, sengaja diutus untuk mendewasakanmu. Untuk
menguatkan kita."
"Benarkah?"
Untuk kesekian kalinya bulan sabit pindah ke bibirnya.
"Kurasa
mereka hanya tahu menghujat saja. Semua yang kulakukan salah di mata mereka.
Seolah mereka tak punya cela!"
"Ayolah,
kalau kamu masih mengeluhkannya, kamu takkan pernah menjadi lebih baik dari
yang sudah-sudah. Kamu lihat cangkir keramik ini. Ia harus ditempa berkali
kali. Dioven dengan panas yang luar biasa, dalam waktu yang lama... Agar bisa
dipajang dengan anggun di etalase toko. Kemudian dijual dengan harga
mahal," ujarnya sembari menyeruput tehnya yang mulai dingin. Menyesapnya
sedikit demi sedikit.
"Tuhan
sedang ingin meninggikan kwalitasmu. Sekarang tergantung pilihanmu. Bertahan
atau menyerah! Kebahagiaan bukan suatu kebetulan, Vi. Ia nama lain dari
ikhtiar, tawakal dan sabar."
Aku
mendengarkannya khidmat. Tak pernah bosan mendengar petuah-petuahnya. Ia bukan
ustadz. Bukan pula motivator besar. Ia hanya seorang pribadi yang sederhana.
Yang selalu positif memaknai segala.
"Terima
kasih, aku hanya lelah menjadi bulan-bulanan sikap sinting mereka."
"Itu
bentuk lain kepedulian mereka padamu, pahamilah... Masih banyak yang
menunjukkan kasihnya dengan cara yang kau suka. Syukuri saja... "
"Seperti
caramu sekarang?"
"Bisa
jadi begitu." Kudapati seleret bianglala di binar matanya.
"Demi
apa?"
"Demikian
aku mencintaimu."
Dan
Kupu-kupu mulai menari di perutku, saat ia membenarkan letak kacamatanya.
Surabaya, 18 Mei 2013
#Phie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar