Sabtu, 27 Juli 2013

Demi Apa?

Aku pernah bertanya, "Dosakah pabila aku meminta kematian sekarang?" dan kamu hanya menjawabku dengan tersenyum. Menenangkan. Mengusap kepalaku dengan sabar. "Ndak, Vi... Tapi sangat disayangkan kalau kamu memintanya datang lebih awal."
"Kenapa?"
"Kenapa harus meminta kematian? tanpa kamu pinta ia pasti akan datang. Entah sekarang, esok, esok lusa atau kapan. Siapkanlah bekal, sebelum ia datang. Sudah cukupkah? Sudahlah... Tak perlu kamu gubris ocehan mereka. Tak ada untungnya. Kamu justru terlihat lemah. Putus asa."
"Lalu aku harus meminta apa?"
"Mintalah kebahagiaan. Untukmu. Untukku. Untuk mereka."
Kutatap matanya lekat-lekat. Tak paham jalan pikirannya.
"Mereka? Yang selalu menatap miring ke arahku? Yang selalu mencaciku, tanpa tahu alasanku. Untuk apa aku mendoakan kebahagiaan mereka?"
"Untuk Kita. Mereka yang membencimu, sengaja diutus untuk mendewasakanmu. Untuk menguatkan kita."
"Benarkah?" Untuk kesekian kalinya bulan sabit pindah ke bibirnya.
"Kurasa mereka hanya tahu menghujat saja. Semua yang kulakukan salah di mata mereka. Seolah mereka tak punya cela!"
"Ayolah, kalau kamu masih mengeluhkannya, kamu takkan pernah menjadi lebih baik dari yang sudah-sudah. Kamu lihat cangkir keramik ini. Ia harus ditempa berkali kali. Dioven dengan panas yang luar biasa, dalam waktu yang lama... Agar bisa dipajang dengan anggun di etalase toko. Kemudian dijual dengan harga mahal," ujarnya sembari menyeruput tehnya yang mulai dingin. Menyesapnya sedikit demi sedikit.
"Tuhan sedang ingin meninggikan kwalitasmu. Sekarang tergantung pilihanmu. Bertahan atau menyerah! Kebahagiaan bukan suatu kebetulan, Vi. Ia nama lain dari ikhtiar, tawakal dan sabar."
Aku mendengarkannya khidmat. Tak pernah bosan mendengar petuah-petuahnya. Ia bukan ustadz. Bukan pula motivator besar. Ia hanya seorang pribadi yang sederhana. Yang selalu positif memaknai segala.
"Terima kasih, aku hanya lelah menjadi bulan-bulanan sikap sinting mereka."
"Itu bentuk lain kepedulian mereka padamu, pahamilah... Masih banyak yang menunjukkan kasihnya dengan cara yang kau suka. Syukuri saja... "
"Seperti caramu sekarang?"
"Bisa jadi begitu." Kudapati seleret bianglala di binar matanya.
"Demi apa?"
"Demikian aku mencintaimu."
Dan Kupu-kupu mulai menari di perutku, saat ia membenarkan letak kacamatanya.


Surabaya, 18 Mei 2013
#Phie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar