10 November 2012
Tak ada yang berbeda dengan hari
ini. Semua berlalu begitu saja, kecuali kenyataan bahwa hari ini sekolahku
libur. Yah, libur. Hari libur memang sesuatu banget buat kami yang masih duduk
di bangku sekolah, apalagi kalau liburnya di hari Sabtu seperti sekarang ini, serasa
libur panjang. Tapi siapa bilang ini benar-benar liburan yang menyenangkan? Sepertinya
pihak pejabat kota ini tak benar-benar senang membiarkan kami yang katanya para
penerus tonggak perjuangan ini libur dengan tenang. Buktinya, alih-alih
membiarkan kami menghabiskan weekend
dengan tenang, pihak sekolah malah memberi kami tugas mengarang bebas. Membuat sebuah
cerpen bertemakan “cinta tanah air”, entah untuk tujuan apa, tapi katanya sih
ya untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air pada penerus tonggak perjuangan
seperti kami ini.
Sebenarnya mengarang bukan hal yang
terlalu sulit buatku yang sudah duduk dibangku SMP kelas 2 ini. Tinggal mengarang
bebas aja kan, toh tiap kami gak bisa menjawab lembar soal ujian yang kami
lakukan adalah mengarang bebas. Tapi kali ini beda, giliran kami diminta
mengarang, otakku seakan-akan mendadak tumpul. Bukan karena ketentuan
mengarangnya yang harus 1000 kata, sungguh bukan itu. Kendalanya adalah, tema
yang harus aku tulis adalah cinta tanah air. Kenapa bukan cinta keluarga atau
cinta pada yang lainnya? Kenapa harus cinta pada tanah air? Benar-benar tak
habis pikir.
Apa yang harus aku tulis?
Aku putar otakku berkali-kali, apa
yang harus kutulis di lembar karanganku nantinya? Sepertinya tidak ada poin
yang dapat aku tuliskan. Lalu harus aku mulai darimana? Dengan susah payah aku
korek-korek isi otakku. Tapi berkali-kali pula kudapati kebuntuan disana.
Apa yang harus aku tulis?
Poin apa yang harus aku angkat? Mmm..
oke, mungkin tentang keberagaman budaya yang ada di negaraku ini. Yah. Itu saja.
Betapa indahnya keberagaman budaya yang dapat berjalan selaras dan berdampingan
di bangsa kami. Mulai dari keberagaman suku, agama, adat istiadat dan budaya.
Sungguh luhur nilai yang terkandung dalam semboyan Negara kami. Bhineka Tunggal
ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Ahh… andai saja apa yang dicita-citakan
pemerintah kami terdahulu dalam semboyan itu benar-benar menjelma dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, mungkin Indonesia yang kukenal saat
ini adalah Indonesia yang damai dan tentram. Gak ada pertikaian dan peperangan
antar suku yang terjadi disana-sini seperti yang bolak-balik aku lihat di layar
kaca. Ironisnya, semboyan luhur itu, hanya berhenti sebagai semboyan saja tanpa
realisasinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Lantas? Siapa yang harus
dipersalahkan dengan semakin maraknya pertikaian yang dipicu oleh keberagaman
ini? Pemerintahkah? Atau individunya? Masih patutkah aku berbangga hati dengan
semua ini?
Lalu aku putuskan untuk berhenti
menulis tentang ini. Toh aku tak bisa membohongi diriku sendiri, dengan hanya
menuliskan sisi positifnya dan melupakan sisi negative yang sebenarnya tengah
terjadi. Ini sama saja seperti mengelabui publik. Ah… aku mendadak berlagak
seperti public figure saja.
Ah ya, bangsa kami punya budaya
antri yang cukup bagus. Mungkin aku bisa menuliskannya sebagai sebuah cerpen. Yah…
bangsa kami adalah bangsa yang menerapkan budaya antri dimanapun. Ditempat
pembelian tiket, penerimaan sembako, atau tempat-tempat yang lain sebagainya. Kita
bisa dengan mudah menemukan budaya ini disekitar kita. Dengan budaya antri ini,
setiap orang menerima keadilan yang sama. Ia yang berada dibaris antrian
terdepan maka ia yang akan mendapatkan perlayanan terlebih dahulu. Benar-benar
adil. Setiap orang mendapat perlakuan yang sama.
Tapi baru saja hendak
menuliskannya, seorang sahabatku yang di Jakarta menelponku. Bercerita dengan
bersungut-sungut karena antriannya diserobot oleh seseorang. Seorang artis ibu
kota. Si pelayan, dengan santainya melayani si artis seolah kami yang mengantri
terlebh dahulu tak dipandangnya, tutur sahabatku.
Lantas masih bisakah aku
membanggakannya? Jika ternyata keadilan yang tersimpan dalam budaya mengantri
bisa luntur begitu saja, bergantung pada siapa posisi anda dalam masyarakat. Hal
ini hanya kan menguntungkan orang-orang yang berada diatas sana, dan semakin
menyusahkan bagi kami yang berada di bawah garis rata-rata. Ah… sangat
disayangkan
Apa yang harus aku tulis?
Ah ya.. ada pula sebuah slogan yang
cukup umum aku dengar. Cintailah Produk Indonesia. Yah… slogan yang sangat
bijak. Kita memang harus mencintai produk dalam negeri sendiri. Bukan malah
keranjingan menikmati produk-produk luar negeri. Masih banyak barang-barang
bagus yang dapat kita dapatkan dari dalam negeri tanpa harus bersusah payah membelinya
dari luar. Tapi, pada dasarnya harga yang ditawarkan, memang harus diakui
memilik selisih yang sangat jauh. Jangnkan seribu rupiah, bagi kami yang berasa
di bawah garis ekonomi ini, perbedaan seratus rupiah saja, sangat berarti bagi
kami. Belum lagi, terkadang kami harus menanggung kekecewaan setelah membeli
barang dalam negeri dengan harga yang murah, yang kami dapati adalah kualitas
yang rendah pula. Lalu dengan berat hati kami harus menelan ludah kami sendiri.
Bayar murah mau kualitas yang bagus…? MIMPI.
Lagi-lagi aku harus kecewa.
Ada lagi. Ini tentang perfileman di
Indonesia. Mungkin wawasanku tentang dunia perfileman sangat minim. Yang aku
tahu hanya sebatas film-film yang diputar di televisi saja. Alih-alih membahas
tentang film, yang aku bahas mungkin hanya seputar sinetron sinetron yang
memanjakan mata kami diwaktu senggang. Sinetron-sinetron yang ku lihat gak jauh-jauh
dari masalah cinta-cintaan para muda-mudi. Yang memang gengre cinta-cintaan ini
tak akan habis untuk dibahas. Hanya saja, miris sekali melihat
sinetron-sinetron kami akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Banyak ku dapati
cerita yang menggambarkan kehidupan sekolah sepertiku yang masih mengenakan
seragam putih biru ini terlibat dalam rekayasa orang dewasa untuk mempertontonkan
cinta-cintaan yang tidak pada umurnya. Sebuah tontonan yang baik, haruskah
tontonan yang mampu memberikan tuntunan yang baik bagi penontonnya. Alih-alih
memberikan tuntunan yang baik, aku malah merasa kami diracuni dengan dijejali
berbagai macam tontonan yang seperti itu. Mungkin ini terdengar naïf, tapi ini
hanya sekedar pemikiran kecil dari seorang anak kecil sepertiku. Apa yang harus
kau harapkan?
Ku hela nafasku. Meninggalkan buku-buku yang berserakan di meja. Sepertinya aku memang takkan memiliki ide yang cukup bagus untuk aku tuliskan sebagai pengisi tugas liburanku kali ini. Entah aku yang terlalu tolol, atau apa.
Ku hela nafasku. Meninggalkan buku-buku yang berserakan di meja. Sepertinya aku memang takkan memiliki ide yang cukup bagus untuk aku tuliskan sebagai pengisi tugas liburanku kali ini. Entah aku yang terlalu tolol, atau apa.
Lebih baik aku bergegas menyusul
kakek di pasar daripada terus berkutat di sini. Ku bawa sepeda motor butut
milik kakek. Hari sudah siang, sebentar lagi kakek pasti akan membereskan
dagangannya dan bergegas pulang. Benar saja, kudapati kakek sudah siap untuk
kujemput pulang. Kata ibuk, kakek adalah mantan seorang pejuang pada jamannya. Ngomong-ngomong
soal pejuang, mungkin aku bisa mengorek-ngorek sedikit dari beliau tentang tugas
liburanku ini. Siapa tau kakek bisa memberikan ilham yang aku butuhkan.
“Kek, kita makan mie ayam di tempat
bu Mirah dulu ya kek,” pintaku.
Dan kakek mengiyakan. Mie ayam bu
Mirah sangat terkenal ditempat kami. Tak hanya untuk warga lokal, banyak
bule-bule yang ku lihat berseliweran disini. Bukan hanya karena mie ayamnya dan
kopi buatan bu Mirah yang enak, tapi karena tempatnya yang strategis dijantung
kota. Aku sering melihat para bule menghabiskan waktu mengobrol disini.
Aku dan kakek duduk ditempat kami
biasanya. Tepat dipinggir jendela. Kami menyantap mie ayam kami dengan lahap. Sampai
akhirnya ku temui kakek berhenti menyendok mienya lagi.
“Ada apa kek?” tanyaku penasaran.
Dan kakek hanya memberi aba-aba
dengan jari telunjuknya agar aku dia sejenak. Aku diam. Dan akhirnya paham. Di meja
seberang ada beberapa orang bule yang tengah asyik mengobrol dalam bahasa
linggis mereka. Maaf bahasa inggris maksudku. Tak banyak yang bisa aku pahami
dari kata-kata yang mereka ucapkan. Karena harus ku akui nilai bahasa inggrisku
dibawah memuaskan.
Tapi, aku cukup paham bahwa apa
yang mereka bicarakan adalah menjelek-jelekkan Indonesia. Mereka berkali kali
menyebutkan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Bahwa keramahan yang disuguhkannya
hanya sebagai kedok untuk menutupi itu semua. Dan bla-bla-bla…
Ingin rasanya aku labrak mereka,
dan menyiramkan sisa mie ayam dimangkokku pada mereka. Aku sudah berdiri dan
bersiap-siap melakukan aksiku tapi dengan lembut kakek menarik lenganku. Aku tahu
sebenarnya kakek jauh lebih tersulut amarah mendengar apa yang mereka katakana.
Karena bagaimanapun beliau adalah mantan pejuang. Tentu beliau tidak akan
terima Negara yang dibelanya bertahun-tahun silam dijelek-jelekkan seperti itu.
Itu namanya pelecehan bagi perjuangannya.
“Tapi, Echa gak terima kek.., kita harus memberi mereka pelajaran agar gak sembarangan lagi,”
“Tapi, Echa gak terima kek.., kita harus memberi mereka pelajaran agar gak sembarangan lagi,”
“Ya, kita memang harus memberi
mereka pelajaran Cha, ada berapa orang semuanya?”
“Tiga orang kek, kakek mau ngapain?”
aku penasaran akan apa yang akan kakek lakukan pada mereka. Apa kakek juga mau
melabrak mereka? Tapi apa iya kakek masih kuat?
Bukannya menjelaskan apa yang akan
dilakukannya kakek malah menghampiri meja kasir. Loh? Katanya mau memberi bule-bule
itu pelajaran? Kok malah mau pulang?
“Berapa semuanya nak?”
“Mie ayam dua, es teh satu, dan
kopi tubruk satu, semuanya Rp 22.500 kek,” lalu kakek menyerahkan selembar uang
seratus ribuan. Itu uang hasilnya berjualan dipasar hari ini.
“ini untuk membayar makanan mereka
juga,” kata kakek menunjuk meja para bule yang menyebalkan itu. “saya rasa
cukup, dan ini saya minta tolong berikan ini pada mereka.” Kakek menyerahkan
sobekan kertas kecil pada pelayan tadi.
Aku penasaran apa yang sebenarnya
sedang kakek lakukan. Bukannya melabrak mereka, ini malah membayari makan
mereka juga.
“kakek, apa yang kakek tulis tadi?”
“ Hai, I am Saleh. I’m Indonesian. I
hope you will be interesting in Indonesia. Nice to know you.”
“Kakek, katanya mau memberi mereka pelajaran? Kok
malah membayari uang makan mereka sih?”
“Bukan saatnya lagi untuk kakek
mengangkat senjata melawan penjajah Cha, ini bukan jaman perang seperti jaman
kakek dulu. Tapi masih banyak hal lain yang bisa kita lakukan untuk membela negara
kita tercinta ini. Balaslah kejahatan mereka dengan kebaikan kita. Mungkin akan susah, tapi Itu jauh lebih
terhormat. Itu budaya bangsa kita, Cha,” Katanya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Yah.. inilah perbedaan kami para pemuda-pemudi
bangsa ini dengan kakek. Aku seakan mewakili sebagian besar para pemudi yang selalu
gegabah menyelesaiakn masalah. Para pemudi yang kehilangan rasa cinta tanah
airnya. Tapi kakekku menunjukkannya dengan begitu baik. Benar-benar membuatku
merasa malu padanya.
Begitu luhur apa yang kakek
lakukan, ia membalas air tuba dengan air susu. Kakek menghapuskan benih-benih
permusuhan dan menggantinya dengan menebar kebaikan.
“Itu budaya bangsa kita Cha,”
kata-kata kakek masih terngiang telingaku. Budaya bangsa. Yah… benar, masih
banyak hal yang bisa ku gali dari bangsaku. Masih banyak kebaikan-kebaikan dari
negeri ini yang bisa dan patut aku banggakan. Hanya saja aku terlalu menutup
diri untuk melihatnya. Dan kakek membuka mataku. Ia tak hanya bicara seperti
pesan para pejabat-pejabat petinggi Negara saat berorasi. Beliau menunjukkan
bukti nyata.
Talk less do more.
Itu yang dibutuhkan negara ini.
Kami pulang.
Dan akhirnya aku tahu, apa yang
harus ku tuliskan untuk tugas liburanku.
Surabaya, 18 November 2012
#Phie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar