Hujan malam ini seakan enggan untuk
berhenti, liriknya mengalun tak berirama. Melantun tanpa melodi yang pasti. Tak
berartutan. Seperti dentuman krucuk-krucuk di perutku yang sedari tadi hanya
bisa kuisi dengan air mineral. Yah. Hujan malam ini tampaknya sangat kejam
mengadili keteledoranku yang terlambat makan. Lagi dan lagi. Mungkin dia sudah
bosan mendengar aku mengeluh kelaparan dan selalu menyalahkannya sebagai
tersangka utama.
Yah.. mungkin benar. Antara perutku dan
hujan tak pernah memiliki hubungan yang harmonis. Tak bisa saling mengisi. Saat
perut minta diisi dengan tak sopannya ia datang, membawa jarak antara perut dan
warung nasi. Tanpa permisi. Dan lagi-lagi aku hanya bisa meminta perutku sabar
dengan hanya menelan air putih ini.
Lantas, karenanya kami menjadi musuh?
Ah.. tidak...
Sebab
seburuk-buruknya hujan, aku tahu seberapa baiknya ia. Yah. Aku paham dengan
pasti seberapa dekatnya dia dengan hati.
Ia serupa bahasa yang hanya bisa disampaikan hati lewat isyarat, semacam
pesan yang hanya bisa dibaca oleh kaum perasa. Yah… mereka ditakdirkan untuk
saling berbagi. Saling mengisi. Seperti tetesan hujan yang mewakili basahnya
hati, menyuratkan segala kegundahannya dengan sempurna pada tiap gemericiknya
yang menari anggun di atas dedaunan. Seperti itu pula air mata menggambarkan
hujan kecil dipipi. Mengalir tanpa emosi. Alpa apa itu elegy.
Lantas kami memutuskan bersahabat.
Memilin emosi untuk saling berbagi, beradu cerita sendu dari masa lalu…
bersama-sama memejamkan hari, menentramkan hati. Percaya esok akan ada pelangi.
#lagi
Surabaya 10 Desember 2012
23.45 WIB
#PHIE (Meracau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar