Lagi-lagi harus terjebak di jalan. Lalu lalang pengemudi sepeda
sebenarnya sangat mengusikku, apalagi jika harus mendengar bunyi klakson mereka
yang memekakkan telinga. Kadang aku heran, mengapa penduduk di sini begitu tak
sabaran. Traffic light baru saja berubah
hijau, tapi mereka bertingkah seakan-akan diburu sesuatu. Untuk alasan itulah
aku tak pernah menyukai kemacetan di Surabaya.
“Kenapa tak berangkat kemarin saja jika buru-buru?” begitu
gumammu. Selalu membuatku tergelitik jika mengingatnya.
Aku benci harus terjebak macet seperti ini, tapi denganmu semua
berbeda. Seperti senja kali ini. kita menghabiskannya dengan santai menyantap
es goder dan pentol colek di bawah temaramnya lampu kota. Dan untuk pertama
kalinya aku menikmati kemacetan ini. Yah itu karenamu Arman. Aku menikmatinya
dengan cara yang berbeda. Dan untuk pertama kalinya aku menyukai kemacetan ini.
Aku mensyukurinya.
Kamu tahu, sebenarnya aku tak terlalu suka es ini, tapi entah
terbawa suasana atau apa, saat mendengarmu berkata bahwa es ini terasa sedap,
mendadak saja aku juga ingin mengahabiskannya sepertimu. Seperti kita
menghabiskan senja ini dengan mengobrol santai di trotoar seperti ini.
Kamu lihat? Para pengemudi yang kemacetan itu
sedang menatapi kita. Tapi apa pedulimu? Kamu tak pernah memperdulikan hal-hal
kecil semacam itu. Dan terkadang aku juga tak paham, hal-hal seperti apa yang
akan kau perhatikan. Aku ingin seperti itu. Ingin kau perhatikan.
Diam-diam ku pandangi wajahmu yang dihujani sinar lampu senja itu.
Sebentar-sebentar terpejam menikmati sendokan demi sendokan es dogermu. Kamu
begitu menikmatinya. Dan aku menikmati menatap wajahmu seperti ini. Aku mulai
bertanya-tanya, dari mana rasa ini terbit untukmu. Mungkin dari Hidungmu? Matamu?
Rambutmu? Ah.. ya.. juga beberapa helai jenggot yang kau pelihara itu? Dari
sanakah? Aku belum tahu.
Atau mungkin dari kulit yang membalut tubuhmu. Sawo matang,
benar-benar kulit pribumi. Memang benar, aku suka laki-laki berkulit putih,
tapi entah, denganmu ini semacam pengecualian. Warna kulitmu seakan bercerita
tentang hidup. Tentang betapa kerasnya kamu menjalani ini sebagai tulang
punggung keluarga. Tentang bagaimana kerasnya kamu menahan lapar, hanya untuk
sekedar bisa mengirim beberapa rupiah untuk keluargamu di Tanah Minang sana. Warna kulitmu seakan berbicara tentang
kemandirian dan tanggung jawab yang tak mampu kulihat di warna lainnya.
Selain itu, aku masih sangat menyukai cara tertawamu, begitu
lepas. Tanpa beban. Mungkin kamu tak menyadarinya, di kelas kita tak hanya aku,
satu-satunya perempuan yang menyukai cara tertawamu. Tak sengaja aku mendengar
mereka memperbincangkanmu, katanya saat tersenyum kamu terlihat dua kali lebih
manis dari biasanya. Kemudian aku hanya mengangguk setuju, mengiyakan statement mereka dari jauh.
Tiba-tiba sendokanmu berhenti. Aku takut saja, jika ternyata kamu
tahu aku memperhatikanmu. Tapi ternyata tidak, kamu sibuk memperhatikan seorang
bapak di seberang jalan sana. Beliau tengah sibuk menstater sepedanya.
“Ya.. begitu itu, kalo matic. Bawanya sih enak, tapi giliran
mogok.. begh… ruwet.”
“Kenapa abang gak bantuin ajah, abang kan bisa tuh benerin sepeda
motor,” kataku.
Yah, Arman memang tak pandai menghitung nilai integral ataupun
mencari determinan suatu matrik, tapi untuk urusan cowok seperti bongkar mesin
seperti ini dia benar-benar dapat diandalkan.
“Aku gak punya ide,” jawabnya singkat.
“Kan barusan aku udah kasik ide, sekarang abang tinggal jalani
ajah.. hehehe.”
“Maksudnya, aku gak punya ide, mau ku bantu gimana.”
“Ya.. tinggal samperin ajah, bilang.. kenapa pak, mogok ya..? trus
udah deh.. tinggal action ajah..
emang matic ama motorku gitu beda ya penanganannya?” selidikku.
Aku memang benar-benar buta soal mesin dan sebagainya. Menurutku
itu memang bukan bagianku. Tapi kalau di pikir-pikir lagi keren juga sih kalau
ada cewek yang mengerti mesin, seperti si Tika sahabatku.
“Ya sama aja sih, Cuma agak ribet, soalnya mesinnya itu ada
dibawah joknya, jadi harus dibuka semua,” tuturnya memberi penjelasan.
Aku hanya bisa manggut-manggut saja.
“Harus dibantu yah?”
“iya lah, tunjukin kalau abang emang ahli buat yang beginian,”
ujarku sembari tersenyum.
“Ah… bisa-bisamu saja luv,” katanya sambil beranjak dari tempat
duduknya.
Arman menghampiri bapak tadi, dan aku hanya bisa menyusulnya dari
belakang. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena saat ia
berdiri aku bergegas mengembalikan mangkuk es doger kami. Penjualnya sepertinya
telah menunggu terlalu lama.
Dalam sekejap saja mereka sudah terlihat begitu akrab. Arman
akhirnya mulai membongkar matic beliau. Jari jemarinya dengan cekatan membuka
mor-mor yang menancap di sepeda.
Satu, dua, tiga, … Sembilan yah.. kurang lebih sebanyak itulah
mor-mor yang dilepaskannya. Dia mengecek akinya sambil sesekali menstaternya.
Tapi tetap saja nihil.
“Sepertinya tak ada yang salah,” gumamnya. Seakan berbisik pada
angin.
Aku hanya bisa menatapmu dari sini. Duduk disamping matic itu
sambil menyalakan senter dari HP-ku untuk sekedar membantumu.
“Mungkin, businya kotor pak.”
“Masa sih mas? Ini baru seminggu lalu saya serviskan.”
“Saya coba lihat dulu.”
Dengan cekatan dia mulai memeriksa businya. Meniupnya beberapa
kali seperti lilin ulang tahun, sebelum kemudian memasangkannya di tempat semula.
Dan yah… Dia berhasil. Sepeda motor itu akhirnya memilih untuk
mengalah pada perjuangannya.
Bapak tadi tak henti-hentinya mengucap syukur dan terima kasih
padanya. Dan dia hanya tersenyum simpul. Aku juga ikut bahagia. Satu hal yang
ingin kulakukan adalah melompat kearahmu dan mengucapkan selamat. Tapi
kuurungkan, karena melihatmu tersenyum puas seperti itu sudah lebih dari cukup.
Lagi pula, aku harus sadar, aku bukan siapa-siapa.
Bang Arman tahu? melihatmu serius seperti tadi, seperti melihat
belahan dunia yang lain. Berbeda dari yang kulihat biasanya di kelas terutama
saat UAS pagi tadi. Kamu tetap menarik, walaupun cemas menunggu jawaban
kalkulus dari teman-teman. Tapi hari ini, bahkan siluet tubuhmu yang
bermandikan cahaya senja, sangat mempesona. Mengalirkan kehangatan dalam hati.
Bahkan walau dalam keaadaan rambutmu acak-acakan seperti itu.
“Ayo pulang,” katamu penuh
semangat.
“Ye..ye..ye.. berhasil, selamat ya bang.”
“Hahaha.. kebetulan saja.”
“Aish… kau ini, Luvi gak mau muji
abang lagi,” gurauku.
Dia mulai menghidupkan mesin sepeda motor. Tiba-tiba bapak tadi
menghampiri kami.
“Ada yang ketinggalan mas,” ujarnya sambil menyelipakan sesuatu di kantong Arman.
“Loh..pak, ndak usah pak.” Arman mencoba untuk menolaknya. Tapi
bapak tadi sudah berlalu ke tempat sepedanya
lagi.
“Sekali lagi terimakasih ya mas,”
“Sama-sama pak,” jawabku menggantikan Arman yang masih tertegun.
Sekalipun dari belakang punggungnya seperti ini, aku tahu. Ia sungguh bahagia. Semacam rejeki yang tak
terduga-duga.
“Abang buka bengkel aja habis ini…hahaha.”
“hahaha… kamu tahu berapa yang diselipkannya?”
“Ndak, berapa emang bang?”
Arman mengeluakan selembar uang lima puluh ribuan dari kantongnya.
“Subhanallah,” decaknya.
“Alhamdulillah,” sahutku dari belakang.
“jadi, habis ini kita makan-makan nih?”
Makan-makan katamu? Ini semacam alasan untukku lebih lama
disampingmu. Menghabiskan waktu bersamamu. Ini akan jadi malam terakhir kita
bertemu bukan? Liburan semester ganjil, sudah dimulai besok. Dan besok pula
kamu akan kembali ke tempatmu dan
meninggalkan aku disini. Jadi tawaranmu untuk makan-makan ini bagai penawar
racun yang akan mulai kutelan besok. Betapa senangnya aku. Bahkan walau itu
hanya sekedar duduk di sebelahmu. Tanpa
makan atau minum sekalipun. Ya, hanya duduk dan mengobrol saja denganmu, aku
mau.
“Iihhhiiiir…yeyeye..asiiiiik,” sorakku penuh semangat. Mungkin
kalau tak ingat aku sedang berada di atas sepeda motor aku sudah melompat
kegirangan.
“SMS si Tika juga gih..,” lanjutmu.
Dan entah kenapa…senyum di wajahku menghilang seketika. Seperti
disapu bersih oleh polusi kota ini. Seperti
keanggunan senja yang berubah serupa muramnya malam.
Lalu, hati kecilku berbisik mengingatkan. Untuk lebih membuka mata lebih lebar dari yang
seharusnya. Harusnya aku tahu…Tak perlu aku membohongi
diri sejauh ini, karena hasilnya akan tetap sama. Takkan pernah tentangku, karena, mau ku akui atau tidak, di hatinya telah
cukup sesak nama sahabatku Tika, BUKAN namaku,”.
Mati-matian aku mencoba menelan ludahku sendiri. Merutuk dalam
hati. Tak ada yang special dengan malam ini Luvi.. tak ada. Semuanya biasa
saja. Rasa seperti ini bisa terbit pada siapa saja. Tanpa
bisa kau memilihnya. Karena setiap hati telah memilih hati yang akan
disinggahinya dengan sendirinya. Yah dengan sendirinya, tanpa persetujuan
nalar. Demikian dengannya.
Hatimu, bisa saja telah memilih hatinya, tapi disisi lain ternyata
hal itu tak berlaku pula untuk hatinya. Hatinya tak pernah memilih hatimu.
Namun
bagaimanapun, rasa itu terlanjur ku titipkan pada senja hari ini.
“Oh… iya bang,” jawabku getir, yang
kemudian disambut senyum simpul di bibirnya.
Surabaya, 2013
#Phie
#1bulan1buku #KlubBuku