Selasa, 12 Maret 2013

BUKAN AKU


Pic: Foto Pribadi at Pantai Gersik Putih - Kalianget
 
Lagi-lagi harus terjebak di jalan. Lalu lalang pengemudi sepeda sebenarnya sangat mengusikku, apalagi jika harus mendengar bunyi klakson mereka yang memekakkan telinga. Kadang aku heran, mengapa penduduk di sini begitu tak sabaran. Traffic light baru saja berubah hijau, tapi mereka bertingkah seakan-akan diburu sesuatu. Untuk alasan itulah aku tak pernah menyukai kemacetan di Surabaya. 

“Kenapa tak berangkat kemarin saja jika buru-buru?” begitu gumammu. Selalu membuatku tergelitik jika mengingatnya. 

Aku benci harus terjebak macet seperti ini, tapi denganmu semua berbeda. Seperti senja kali ini. kita menghabiskannya dengan santai menyantap es goder dan pentol colek di bawah temaramnya lampu kota. Dan untuk pertama kalinya aku menikmati kemacetan ini. Yah itu karenamu Arman. Aku menikmatinya dengan cara yang berbeda. Dan untuk pertama kalinya aku menyukai kemacetan ini. Aku mensyukurinya.

Kamu tahu, sebenarnya aku tak terlalu suka es ini, tapi entah terbawa suasana atau apa, saat mendengarmu berkata bahwa es ini terasa sedap, mendadak saja aku juga ingin mengahabiskannya sepertimu. Seperti kita menghabiskan senja ini dengan mengobrol santai di trotoar seperti ini. 

Kamu lihat? Para pengemudi yang kemacetan itu sedang menatapi kita. Tapi apa pedulimu? Kamu tak pernah memperdulikan hal-hal kecil semacam itu. Dan terkadang aku juga tak paham, hal-hal seperti apa yang akan kau perhatikan. Aku ingin seperti itu. Ingin kau perhatikan.

Diam-diam ku pandangi wajahmu yang dihujani sinar lampu senja itu. Sebentar-sebentar terpejam menikmati sendokan demi sendokan es dogermu. Kamu begitu menikmatinya. Dan aku menikmati menatap wajahmu seperti ini. Aku mulai bertanya-tanya, dari mana rasa ini terbit untukmu. Mungkin dari Hidungmu? Matamu? Rambutmu? Ah.. ya.. juga beberapa helai jenggot yang kau pelihara itu? Dari sanakah? Aku belum tahu. 

Atau mungkin dari kulit yang membalut tubuhmu. Sawo matang, benar-benar kulit pribumi. Memang benar, aku suka laki-laki berkulit putih, tapi entah, denganmu ini semacam pengecualian. Warna kulitmu seakan bercerita tentang hidup. Tentang betapa kerasnya kamu menjalani ini sebagai tulang punggung keluarga. Tentang bagaimana kerasnya kamu menahan lapar, hanya untuk sekedar bisa mengirim beberapa rupiah untuk keluargamu di Tanah Minang sana. Warna kulitmu seakan berbicara tentang kemandirian dan tanggung jawab yang tak mampu kulihat di warna lainnya

Selain itu, aku masih sangat menyukai cara tertawamu, begitu lepas. Tanpa beban. Mungkin kamu tak menyadarinya, di kelas kita tak hanya aku, satu-satunya perempuan yang menyukai cara tertawamu. Tak sengaja aku mendengar mereka memperbincangkanmu, katanya saat tersenyum kamu terlihat dua kali lebih manis dari biasanya. Kemudian aku hanya mengangguk setuju, mengiyakan statement mereka dari jauh.

Tiba-tiba sendokanmu berhenti. Aku takut saja, jika ternyata kamu tahu aku memperhatikanmu. Tapi ternyata tidak, kamu sibuk memperhatikan seorang bapak di seberang jalan sana. Beliau tengah sibuk menstater sepedanya.

“Ya.. begitu itu, kalo matic. Bawanya sih enak, tapi giliran mogok.. begh… ruwet.”
“Kenapa abang gak bantuin ajah, abang kan bisa tuh benerin sepeda motor,” kataku.
Yah, Arman memang tak pandai menghitung nilai integral ataupun mencari determinan suatu matrik, tapi untuk urusan cowok seperti bongkar mesin seperti ini dia benar-benar dapat diandalkan.
“Aku gak punya ide,” jawabnya singkat.
“Kan barusan aku udah kasik ide, sekarang abang tinggal jalani ajah.. hehehe.”
“Maksudnya, aku gak punya ide, mau ku bantu gimana.”
“Ya.. tinggal samperin ajah, bilang.. kenapa pak, mogok ya..? trus udah deh.. tinggal action ajah.. emang matic ama motorku gitu beda ya penanganannya?” selidikku.

Aku memang benar-benar buta soal mesin dan sebagainya. Menurutku itu memang bukan bagianku. Tapi kalau di pikir-pikir lagi keren juga sih kalau ada cewek yang mengerti mesin, seperti si Tika sahabatku.

“Ya sama aja sih, Cuma agak ribet, soalnya mesinnya itu ada dibawah joknya, jadi harus dibuka semua,” tuturnya memberi penjelasan.
Aku hanya bisa manggut-manggut saja.
“Harus dibantu yah?”
“iya lah, tunjukin kalau abang emang ahli buat yang beginian,” ujarku sembari tersenyum.
“Ah… bisa-bisamu saja luv,” katanya sambil beranjak dari tempat duduknya.

Arman menghampiri bapak tadi, dan aku hanya bisa menyusulnya dari belakang. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena saat ia berdiri aku bergegas mengembalikan mangkuk es doger kami. Penjualnya sepertinya telah menunggu terlalu lama.

Dalam sekejap saja mereka sudah terlihat begitu akrab. Arman akhirnya mulai membongkar matic beliau. Jari jemarinya dengan cekatan membuka mor-mor yang menancap di sepeda. 

Satu, dua, tiga, … Sembilan yah.. kurang lebih sebanyak itulah mor-mor yang dilepaskannya. Dia mengecek akinya sambil sesekali menstaternya. Tapi tetap saja nihil.
“Sepertinya tak ada yang salah,” gumamnya. Seakan berbisik pada angin.
Aku hanya bisa menatapmu dari sini. Duduk disamping matic itu sambil menyalakan senter dari HP-ku untuk sekedar membantumu.
“Mungkin, businya kotor pak.”
“Masa sih mas? Ini baru seminggu lalu saya serviskan.”
“Saya coba lihat dulu.”

Dengan cekatan dia mulai memeriksa businya. Meniupnya beberapa kali seperti lilin ulang tahun, sebelum kemudian memasangkannya di tempat semula.
Dan yah… Dia berhasil. Sepeda motor itu akhirnya memilih untuk mengalah pada perjuangannya.

Bapak tadi tak henti-hentinya mengucap syukur dan terima kasih padanya. Dan dia hanya tersenyum simpul. Aku juga ikut bahagia. Satu hal yang ingin kulakukan adalah melompat kearahmu dan mengucapkan selamat. Tapi kuurungkan, karena melihatmu tersenyum puas seperti itu sudah lebih dari cukup. Lagi pula, aku harus sadar, aku bukan siapa-siapa.

Bang Arman tahu? melihatmu serius seperti tadi, seperti melihat belahan dunia yang lain. Berbeda dari yang kulihat biasanya di kelas terutama saat UAS pagi tadi. Kamu tetap menarik, walaupun cemas menunggu jawaban kalkulus dari teman-teman. Tapi hari ini, bahkan siluet tubuhmu yang bermandikan cahaya senja, sangat mempesona. Mengalirkan kehangatan dalam hati. Bahkan walau dalam keaadaan rambutmu acak-acakan seperti itu.

“Ayo pulang,” katamu penuh semangat.
“Ye..ye..ye.. berhasil, selamat ya bang.”
“Hahaha.. kebetulan saja.”
“Aish… kau ini, Luvi gak mau muji abang lagi,” gurauku.
Dia mulai menghidupkan mesin sepeda motor. Tiba-tiba bapak tadi menghampiri kami.
“Ada yang ketinggalan mas,” ujarnya sambil menyelipakan sesuatu di kantong Arman.
“Loh..pak, ndak usah pak.” Arman mencoba untuk menolaknya. Tapi bapak tadi sudah berlalu ke tempat sepedanya lagi.
“Sekali lagi terimakasih ya mas,”
“Sama-sama pak,” jawabku menggantikan Arman yang masih tertegun.
Sekalipun dari belakang punggungnya seperti ini, aku tahu. Ia sungguh bahagia. Semacam rejeki yang tak terduga-duga.
“Abang buka bengkel aja habis ini…hahaha.”
“hahaha… kamu tahu berapa yang diselipkannya?”
“Ndak, berapa emang bang?”
Arman mengeluakan selembar uang lima puluh ribuan dari kantongnya.
“Subhanallah,” decaknya.
“Alhamdulillah,” sahutku dari belakang.
“jadi, habis ini kita makan-makan nih?”

Makan-makan katamu? Ini semacam alasan untukku lebih lama disampingmu. Menghabiskan waktu bersamamu. Ini akan jadi malam terakhir kita bertemu bukan? Liburan semester ganjil, sudah dimulai besok. Dan besok pula kamu akan kembali ke tempatmu dan meninggalkan aku disini. Jadi tawaranmu untuk makan-makan ini bagai penawar racun yang akan mulai kutelan besok. Betapa senangnya aku. Bahkan walau itu hanya sekedar duduk di sebelahmu. Tanpa makan atau minum sekalipun. Ya, hanya duduk dan mengobrol saja denganmu, aku mau.

“Iihhhiiiir…yeyeye..asiiiiik,” sorakku penuh semangat. Mungkin kalau tak ingat aku sedang berada di atas sepeda motor aku sudah melompat kegirangan.
“SMS si Tika juga gih..,” lanjutmu.

Dan entah kenapa…senyum di wajahku menghilang seketika. Seperti disapu bersih oleh polusi kota ini. Seperti keanggunan senja yang berubah serupa muramnya malam.

Lalu, hati kecilku berbisik mengingatkan. Untuk lebih membuka mata lebih lebar dari yang seharusnya. Harusnya aku tahu…Tak perlu aku membohongi diri sejauh ini, karena hasilnya akan tetap sama. Takkan pernah tentangku, karena, mau ku akui atau tidak, di hatinya telah cukup sesak nama sahabatku Tika,  BUKAN namaku,.
 
Mati-matian aku mencoba menelan ludahku sendiri. Merutuk dalam hati. Tak ada yang special dengan malam ini Luvi.. tak ada. Semuanya biasa saja. Rasa seperti ini bisa terbit pada siapa saja. Tanpa bisa kau memilihnya. Karena setiap hati telah memilih hati yang akan disinggahinya dengan sendirinya. Yah dengan sendirinya, tanpa persetujuan nalar. Demikian dengannya. 

Hatimu, bisa saja telah memilih hatinya, tapi disisi lain ternyata hal itu tak berlaku pula untuk hatinya. Hatinya tak pernah memilih hatimu.

Namun bagaimanapun, rasa itu terlanjur ku titipkan pada senja hari ini.

“Oh… iya bang,” jawabku getir, yang kemudian disambut senyum simpul di bibirnya.




Surabaya, 2013

#Phie
#1bulan1buku #KlubBuku

Minggu, 10 Maret 2013

SPASI



Pic: Foto Pribadi at Pantai Gersik Putih-Kalianget


Semakin lama spasi diantara kita semakin melebar selaksa. Aku takut, suatu saat tangan ini tak mampu lagi merengkuhmu.

Mungkin, semakin lama kamu merasa aku mempermainkan hatimu. Membuatmu bimbang mengambil keputusan untuk bertahan atau melepasku. Yah.. melepasku. Mudah saja bagimu untuk melakukan itu, tanpa  perlu memeperdulikan aku lagi. Karena sadar ataupun tidak. Hanya ragamu saja yang masih bertahan disampingku. Sedang hatimu sudah enggan berada disini. Jangan mengelak sayang, aku mengenal dirimu, bahkan mungkin lebih baik daripada mengenal diriku sendiri. Tapi toh aku tak begitu peduli, karena bagiku, selama masih ada kamu disini itu sudah cukup. Perlahan akan kubawa hatimu kembali.

Ku akui, ini semua mutlak kesalahanku. Sayang, betapa aku ingin semua ini tak pernah terjadi saja. Aku ingin semua kembali seperti semula. Tanpa ada dia. Hanya kita saja. Pastilah sangat menyenangkan. Tapi sayang, aku telah terlanjur menceburkan diriku sedalam-dalamnya. Bisakah kau menolong ragaku untuk kembali. Yah.. hanya ragaku yang perlu kau selamatkan, karena hatiku sedikitpun tak pernah berpindah dari hatimu.

Aku masih menginginkanmu sayang, sama besar seperti dulu. Atau mungkin lebih. Tapi saat ini, aku rasa kamu sudah tak menginginkanku lagi. Kamu mulai menjauhiku, mulai mengabaikanku. Harus berapa kali aku bilang padamu untuk menunggu sayang? Mampukah kamu menyanggupinya lagi?

Kamu bilang, kamu telah kecewa padaku. Dan kata kecewamu justru membuatku takut untuk kembali. Sayang, kebahagiaanmu segalanya untukku. Sekalipun masih sangat besar inginku untuk menjadi bagian dari bahagiamu. Entah kamu menyebutnya apa, atu mengartikan betapa egoisnya cintaku padamu. Tapi jujur, aku ingin kamu bahagia.

Aku ini hanya wanita biasa sayang, yang terkadang seringkali masih ingin kau manjai. Tapi jika bahumu saja sudah enggan untuk ku sandari, aku bisa apa? Jika tanganmu saja sudah malas ku genggam, aku bisa apa? Jika pesan singkatku saja kau balas tak kalah lebih singkatnya, aku bisa apa selain memilih diam? Sayang… rasa malu-ku ini sungguh lebih besar darimu. Jadi terkadang aku merasa hanya sebagai pengganggu saja saat menerima semua itu darimu. Aku tak menyalahkanmu untuk itu sayang, sungguh tidak. Hanya saja, aku harus mulai mawas diri, bahwa kehadiranku tak lagi diinginkan seperti dulu.

Aku tak menyalahkanmu sayang, bahkan sekalipun harus kusimpan kegetiran dalam hatiku saat tau, bahwa kamu masih sempat membalas sms-sms darinya, dan dengan acuhnya membalas sms-smsku. Andai aku tak lelah menangisi ini, mungkin tak cuma mataku saja yang basah sayang, tapi hatiku juga berdarah.

Seringkali aku berfikir, bahwa diriku jauh lebih nista dari sampah. Bukannya aku tak tau apa yang orang-orang katakan disana tentangku, sayang. Tapi aku memilih pura-pura menutup telingaku dan membutakan mata. Hatiku Cuma satu sayang, tak yakin mampu menerima semuanya. Rasa bersalah, Kesepian, Cacian, dan cemburu. Ah.. aku tahu, betapa jahatnya aku padamu sayang. Maafkan aku… Mari kita sudahi saja ini.

Surabaya [Dalam Ingatan]
#Phie