TUGAS [Sebelum Waktuku]
Aku
melihat ibu menangis. Ahh.. semacam ada lubang besar yang menganga dalam
hatiku. Ibu, satu-satunya orang yang masih ku punya, selain Ibnu adikku yang
memang sudah jarang pulang. Ia terlalu sibuk dengan urusan kerjanya. Ya urusan
dinas. Dinas yang mengharuskannya untuk selalu pulang pagi. Dan mati di siang
hari. Tiap hari seperti roda yang kehilangan kemudi. Ia hanya datang untuk
merebahkan diri di kamar sebelahku. Dan keluar kamar untuk pergi lagi. Datang
dan pergi sesuka hati.
Rumah kami sempit. Hanya ada tiga kamar di
sana. Dahulu saat ayah masih ada, rumah kecil ini layaknya istana. Kami selalu
bercanda ria. Rumah ini seakan hidup. Bercerita tentang sejarah keluargaku,
saat namaku saja belum direncanakan. Tiap maghrib seusai shalat jema’ah kami
berbincang-bincang di halaman depan rumah.
Ayah menceritakan tentang pekerjaannya di
kantor tiap hari. Katanya, bekerja mencari nafkah adalah kewajiban bagi seorang
laki-laki. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anak dan istrinya pula.
Ada saja wejangan yang ayah sampaikan tiap sore harinya. Aku selalu antusias
menunggu saat itu tiba, berbiincang dengan ayah seperti mengisi bahan bakar
hati. Seolah mendapat kultum penyejuk batin.
Pernah, di suatu sore ayah berpesan
padaku. Beliau meminta padaku untuk baik-baik pada ibu. Surga seorang anak ada
di telapak kaki seorang ibu, maka dekatkanlah dirimu dengan surgamu, lanjutnya.
Jaga adikmu Ibnu, dia masih muda, mudah diombang-ambingkan hidup.
Mungkin saat itu ayah lupa, bahwa usiaku
juga baru menginjak 20, dan adik 18. Kami hanya berselisih 2 tahun kurang. Tapi
ternyata tidak. Ayah tidak lupa itu. Pesan itu beliau maksudkan untuk diriku
pula. Agar aku menjaga Ibnu, sekaligus menjaga diriku. Yah.. ayah tidak lupa
usiaku. Ayah hanya lupa, lupa memberitahuku bahwa itu adalah kuliah
terakhirnya. Bahwa itu adalah wasiatnya.
Aku tahu, ibu rindu pada ayah. Walau 2
tahun telah berlalu, bibirnya selalu basah menyebut nama ayah dalam tiap
doa-doanya. Matanya masih saja mengguratkan kerinduan akan sosok ayah yang bijaksana.
Aku tahu ibu rindu. Tapi beliau tetap berusaha tegar di depan kami
anak-anaknya.
“Bagaimana bisa aku melewati semua ini
tanpamu, Yah…” isak ibu suatu malam.
Malam yang dingin. Kain panjang yang biasa
ku pakai sebagai selimut tak mampu menghangatkan tubuh. Ini bukan kali pertama
aku mendengar ibu berdoa demikian di tengah malam. Ini sudah malam-malam yang
kesekian, sejak Ibnu berubah menjadi tak terkendali. Sebagai kakak, aku gagal
menjaganya. Aku gagal mengemban wasiat ayah.
Sebenarnya tiap malam aku selalu dihantui
perasaan bersalah. Hanya saja tak tahu bagaimana harus mengenyahkannya. Aku
takut ayah tak tenang di sana, jika tahu seperti apa Ibnu sekarang. Berangkat
magrib. Pulang subuh. Bukan. Bukan dari masjid. Melainkan nongkrong gak karuan
di pinggir jalan. Bermain domino lah. Remi. Atau karambol. Ia sudah lupa waktu.
Lupa waktu sholat. Padahal dulu ayah selalu mewanti-wanti kami agar tak
melalaikan kewajiban yang satu itu. Kata beliau, sholat adalah tiang agama.
Jika sholatnya saja sudah jarang, maka kamu perusak agamamu.
Ibnu salah bergaul. Dan mungkin ini juga
karena aku. Aku terlalu sibuk mencari uang untuk makan keluarga, aku lupa
menyisakan sebagian waktu untuk memperhatikannya. Hasilnya kami semakin jauh,
dan lebih jauh. Aku semakin tak mampu menjangkaunya. Satu-satunya hal yng masih
dekat diantara kami adalah kamar. Jarak kamar kami masih tetap seperti dulu,
seperti saat ayah masih ada. Ironis.
Sering kali aku mendengarnya membentak
ibu, saat ibu tak bisa memberinya uang untuk rokok.
“Ibu
tak punya uang nak, ini tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk makan
besok,” terang ibu lembut
Tapi
apa? Ibnu seakan tak mau tahu.
“Ya
sudah, moga ajah gak punya uang beneran terus!” umpatnya yang disusul bunyi
gebrakan pintu.
Ingin aku tampar wajahnya saat itu. Tapi
aku tahan mati-matian. Untuk alasan apapun, aku tak bisa terima orang lain
berkata kasar pada ibu. Tak terkecuali sekalipun dia adikku. Apalagi untuk
urusan yang sepele macam rokok dan kawan-kawannya. Aku tak bisa mentolerirnya.
Aku sudah capek mendengarnya bertingkah di luar sana. Dan aku terlalu lelah
menceramahinya. Jadi kubiarkan saja. Tapi, aku tak bisa kalau harus
terus-terusan melihatnya membentak ibu.
Sakit hatiku melihat perubahan drastisnya.
Lebih sakit lagi mendengar ibu merajuk tiap malam mengelu-elukan namanya. Yah
aku lupa, dia seorang ibu. Sesakit apapun hatinya diperalakukan kasar oleh
anak-anaknya, dia tetap seorang ibu.. Pintu maafnya selalu menganga lebar.
Lantunan doanya selalu tulus mengharap kebaikan anak-anaknya. paling tidak ibu,
bisa sedikit lega. Ibnu tak pernah bermain perempuan. Ia juga tak pernah
menyentuh alkohol seperti yang sering ku dengar dari bibir para tetangga. Ibu
yakin, Ibnu hanya tersesat. Ia hanya butuh cahaya untuk tau arah yang benar.
Malam itu aku bertemu ayah. Beliau tidak
marah. Beliau tersenyum padaku. Iya. Beliau tersenyum. “Bantulah adikmu kembali nduk, ia membutuhkanmu lebih dari sekedar
nasihatmu.”
Dan benar. Ibu selalu benar. Ibnu hanya
tersesat. Ia hanya butuh cahaya untuk tau arah yang benar. Akupun meyakininya.
Jadi kuputuskan, biar aku jadi obor penerangnya. Atau sekedar lilin kecilnya
yang temaram mengantarnya kembali pada surga ibu.
Pagi itu, ku lihat ibnu masih terlelap
dalam tidurnya. Ibu masih sibuk berjualan di pasar. Namun teh hangat dan pisang
goreng sudah ibu siapkan di atas meja. Ku ambilkan du potong pisang goreng dan
segelas teh hangat. Kuantarkan ke kamarnya. Ibnu terbangun kaget. Bersiap-siap
mengumpatiku yang masuk tiba-tiba. Tapi aku melemparkan senyum padanya.
“ini, ibu sudah membuatkanmu teh hangat
dan pisang goreng,”
Aku tahu Ibnu heran. Heran karena jam
segini aku masih di rumah. Heran karena tiba-tiba aku memilih merepotkan diri
mengantarkan the dan pisang gorengnya kekamar. Dan yah.. apa yang harus ku
harapkan? Ia akan langsung berubah karena itu? Mustahil. Ia malah menyuruhku
menaruhna di atas radio. “biar ku minum nanti,” katanya. Jadi ku turuti saja.
Tiap hari. Ku lakukan itu tiap hari. Aku
sengaja meminta ijin untuk masuk agak siang, agar bisa menghidupkan lilin-lilin
untuk penghuni kamar sebelahku ini. Yang tak lain adalah adikku sendiri. Sudah
kuputuskan, aku takkan meninggalkannya lagi dalam gelap. Aku akan membawa
kembali, seperti pinta ayah. Seperti doa ibu. Aku tahu, apa yang kulalkuan ini
belum apa-apa. Sekalipun sudah dua bulan lamanya, obrolanku dengannya tak lebih
dari sekedar, “ iya taruh saja di situ,” , “tolong tutupkan pintunya,”
atau kata-kata kecil semacamnya. Tapi
bagiku itu sudah kenajuan besar.
Sampai suatu malam, saat pulang kantor aku
melihatnya di rumah. Menonton TV di ruang keluarga. Bolak-balik aku lirik jam
tangan. Memastikan apakah jamku yang mati atau memang mataku yang salah. Pukul
delapan malam. Benar. Ini baru pukul delapan. Tapi Ibnu ada di rumah. Keheranan
aku di buatnya.
“Ibu kemana?” tanyanya.
Heran kuadrat. Ia bertanya ibu dimana. Hal
yang tak pernah dilakukannya dua tahun belakangan ini.
“aku lapar, tapi tak ada yang bisa ku
makan,” lanjutnya.
Sontak ku sodorkan bungkusan nasi padang
di tanganku. “kau lapar? Ini, mbak tadi beli nasi padang di warung pak Amir.
Makanlah. Ibu tak ada di rumah, mungkin ibu lupa memberitahumu tadi, ibu pergi
ke rumah bu lek di desa seberang. Bu lek melahirkan.”
Ibnu menerima bungkusan itu, dan
terburu-buru mengambil piring di dapur.
“Jangan lupa cuci tangan,” kataku.
“ kok cuma sebungkus? Mbak gak makan
juga?”
“ Mbak sudah makan tadi di kantor, kamu
makanlah.”
Aku bohong. Nasi itu sebenarnya untuk
kumakan sendiri. Karena aku tak mengira Ibnu aka nada dirumah malam ini. Tapi
melihatnya di rumah sudah cukup membuat rasa laparku hiang. Menguap entah
kemana. Apalagi saat dia bilang dia lapar. Kalaupun aku punya dua bungkus aku
rela memberikan untuknya semua. Aku sadar, sudah terlalu lama mebiarkannya
sendiri. Dua puluh nasi padangpun takkan bisa menggantikan malam-malam yang
terlewatkan tanpa kehadirannya.
Malam itu, Ibnu berbicara banyak. Katanya
ia habis bertenu Bayu sahabat lamanya yang baru pulang merantau ke Jakarta.
“ Bayu sekarang sudah sukses mbak, Ia
punya pondok pesantren di sana. Sekarang di pulang ke sini, dan ingin membangun
langgar ngaji. “
Aku antusias mendengarkannya. Ini moment
yang sudah lama tak pernah ku rasakan lagi. Selama ini aku sibuk dengan
pekerjaanku. Dan ia sibuk dengan dunia luarnya. “oh, ya… ? katanya dia sudah
punya anak, apa dia juga membawa pulang istri dan anaknya kemari?”
“ Belum mbak, katanya nanti setelah ia
berhasil mendirikan langgar ngajinya di sini, baru ia akan menjemput anak
istrinya,” Ibnu berhenti bercerita. Matanya tertunduk menatap lantai. Seperti
sedang memikirkan sesuatu. “Bayu memintaku untuk mengajar di langgarnya, mbak”.
Hening.
Aku sibuk memilih kata-kata yang tepat
untuk aku sampaikan padanya.
“Bayu tidak tahu, kalau aku bukan Ibnu
yang dulu. Aku sekarang tidak layak lagi berteman dengan Bayu dan yang lainnya
kan Mbak? Sholat saja aku sudah lupa. Bagaimana mungkin aku mengajari anak
orang mengaji, sedangkan aku sendiri sudah lama tak membuka al-qur’an. Apa
jadinya anak-anak itu nanti?” . “Masa mau ku ajari main remi?” lanjutnya sambil
tertawa getir.
Aku rangkul dia dalam pelukanku. Rasanya
begitu rindu aku padanya. Mendadak aku merasa jarak antara kami tak ada lagi.
Dia bukan orang asing lagi. Dia adikku. Aku tahu, dia Ibnu, adikku. Seperti
kata ayah, ia membutuhkanku lebih dari sekedar nasihatku. Yah.. itu yang selama
ini belum aku lakukan. Selama ini aku hanya menasehatinya. Ahh.. bukan. Selama
ini aku mengguruinya. Aku menceramahinya. Tapi tak pernah mau mendengarkannya.
Air mataku menetes tak tertahan.
“Kamu adik mbak. Kamu tetap adik mbak.” Ku
tepuk bahunya untuk menenagkan kegalauannya. Di saat yang bersamaan ku rasakan
bahuku basah oleh air matanya.
Hari berikutnya aku datang menemui Bayu.
Menceritakan yang sebenarnya terjadi. Aku memintanya untuk terus membimbing
adikku. Membimbingnya pulang ke jalan yang benar. Memintanya untuk menjadi
lilin ke dua untuk Ibnu. Dan Bayu menyambut permintaanku dengan senang hati.
Empat Bulan berlalu. Ibnu sekarang sudah
kembali seperti dulu. Tak ada lagi Ibnu yang berangkat magrib pulang subuh. Ia
sekarang lebih banyak dirumah. Menemani ibu saat aku kerja. Mengaji. Bahkan
menjadi Imam saat shat berjema’ah di rumah. Ibnu sudah kembali. Yah, dia
benar-benar telah kembali. Tiap malam, kini aku tak pernah lagi mendengar ibu
menangis karena mengeluhkan tingkah kasarnya, kini tiap malam ibu menangis
penuh syukur atas rahmat-Nya.
Dari sini, aku melihat betapa sangat
berpengaruhnya seorang teman. Saat kau bereman dengan orang yang baik, maka
namamu akn ikut baik. Kau akan kecipratan kebaikan demi kebaikan. Begitu juga,
kalau kau salah memilih teman, hasilnya juga akan FATAL.
Sudah hampir dua bulan lamanya ia mengajar
ngaji di langgar Bayu. Rumah kami rasanya kembali seperti Istana. Tiap aku
pulang kerja, ku lihat Ibnu dan Ibu sedang mengobrol santai di depan TV. Bahagia
sekaligus haru dan lega. Aku merasa beban di pundakku telah hilang. “Ayah… aku berhasi membawa dia kembali.”
Hari ini peringatan seribu harinya ayah.
Aku tak mau melewatkan malam ini. Di rumah sedang di gelar pengajian
kecil-kecilan. Dan Ibnu yang akan memimpin do’a. Tak sabar ku kemudikan
bebekku. karena kurang hati-hati aku menabrak sebuah truk sampah yang berhenti
mendadak di depanku.
******
Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam
ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Ibu sedang memengang tangan seseorang
yang terkulai pucat di ranjang pasien. Aku tak bisa mengenalinya dengan jelas.
Wajahnya terhalang kepala ibu. Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak. Apakah
itu Ibnu? Apa yang terjadi padanya? Buru–buru ku hampiri ibu. Beliau masih
terisak. “sadarlah nak, sadarlah… ayo
pulang bersama ibu, jangan tinggalkan ibu…” . Tiba-tiba Ibnu menabrakku dan
masuk begitu saja dalam ruangan tanpa meminta maaf sedikitpun. Disaat yang lain
aku akan menegornya, karena tindakannya itu. Tapi seketika aku bernafas lega
Bukan Ibnu. Dia tidak apa-apa.
“Maaf, kami sudah berusaha,” kata dokter paruh
baya yang sedari tadi diam di samping pasien.
Ibnu mendekatkan bibirnya pada telinga
pasien. Aku masih tak tahu itu siapa. Tak jelas pula apa yang ia bisikkan. Yang
aku dengar hanya isakan Ibu. Menyiksa. Aku bingung. Sebenarnya siapa yang
berbaring di sana? Ku hampiri mereka perlahan. Takut mengganggu.
Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam
ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Tapi saat itu aku tahu. Sudah
tidak ada lagi yang bisa ku perbuat. Bahkan untuk sekedar menyeka air matanya. Jantungku
berhenti berdetak saat melihat siapa yang terbaring pucat itu, yang tangannya
ibu genggami dari tadi, yang Ibnu bisikkan Asma Allah tadi. Yah. Jantungku
benar-benar berhenti berdetak.
Aku
sadar, tak ada lagi yang bisa ku perbuat, sekalipun berjuta inginku untuk itu.
Aku ingin menyeka airmata ibu. Aku ingin merangkul Ibnu. Dan aku ingin memberi
tahu ibu, bahwa aku ada di sana. Aku berdiri tepat disampingnya. Aku berada di
antara mereka. Tak bisa kah kau lihat aku,
bu…
Lalu yang ku lihat hanya ayah. Meranggul
bahuku erat. Mengedarkan senyumnya. Sebelum mengajakku pergi dengannya. Ya.
“Tugasku sudah usai,” katanya.
Pamekasan 19 Mei 2012
[ Setiap yang hidup,
mengemban tugasnya sendiri-sendiri. Sudahkah kita mengembannya dengan baik? ] #Phie