Sabtu, 19 Mei 2012

TUGAS [Sebelum Waktuku]


TUGAS [Sebelum Waktuku]



Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Ibu, satu-satunya orang yang masih ku punya, selain Ibnu adikku yang memang sudah jarang pulang. Ia terlalu sibuk dengan urusan kerjanya. Ya urusan dinas. Dinas yang mengharuskannya untuk selalu pulang pagi. Dan mati di siang hari. Tiap hari seperti roda yang kehilangan kemudi. Ia hanya datang untuk merebahkan diri di kamar sebelahku. Dan keluar kamar untuk pergi lagi. Datang dan pergi sesuka hati.
Rumah kami sempit. Hanya ada tiga kamar di sana. Dahulu saat ayah masih ada, rumah kecil ini layaknya istana. Kami selalu bercanda ria. Rumah ini seakan hidup. Bercerita tentang sejarah keluargaku, saat namaku saja belum direncanakan. Tiap maghrib seusai shalat jema’ah kami berbincang-bincang di halaman depan rumah.
Ayah menceritakan tentang pekerjaannya di kantor tiap hari. Katanya, bekerja mencari nafkah adalah kewajiban bagi seorang laki-laki. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anak dan istrinya pula. Ada saja wejangan yang ayah sampaikan tiap sore harinya. Aku selalu antusias menunggu saat itu tiba, berbiincang dengan ayah seperti mengisi bahan bakar hati. Seolah mendapat kultum penyejuk batin.
Pernah, di suatu sore ayah berpesan padaku. Beliau meminta padaku untuk baik-baik pada ibu. Surga seorang anak ada di telapak kaki seorang ibu, maka dekatkanlah dirimu dengan surgamu, lanjutnya. Jaga adikmu Ibnu, dia masih muda, mudah diombang-ambingkan hidup.
Mungkin saat itu ayah lupa, bahwa usiaku juga baru menginjak 20, dan adik 18. Kami hanya berselisih 2 tahun kurang. Tapi ternyata tidak. Ayah tidak lupa itu. Pesan itu beliau maksudkan untuk diriku pula. Agar aku menjaga Ibnu, sekaligus menjaga diriku. Yah.. ayah tidak lupa usiaku. Ayah hanya lupa, lupa memberitahuku bahwa itu adalah kuliah terakhirnya. Bahwa itu adalah wasiatnya.

Aku tahu, ibu rindu pada ayah. Walau 2 tahun telah berlalu, bibirnya selalu basah menyebut nama ayah dalam tiap doa-doanya. Matanya masih saja mengguratkan kerinduan akan sosok ayah yang bijaksana. Aku tahu ibu rindu. Tapi beliau tetap berusaha tegar di depan kami anak-anaknya.

“Bagaimana bisa aku melewati semua ini tanpamu, Yah…” isak ibu suatu malam.
Malam yang dingin. Kain panjang yang biasa ku pakai sebagai selimut tak mampu menghangatkan tubuh. Ini bukan kali pertama aku mendengar ibu berdoa demikian di tengah malam. Ini sudah malam-malam yang kesekian, sejak Ibnu berubah menjadi tak terkendali. Sebagai kakak, aku gagal menjaganya. Aku gagal mengemban wasiat ayah.
Sebenarnya tiap malam aku selalu dihantui perasaan bersalah. Hanya saja tak tahu bagaimana harus mengenyahkannya. Aku takut ayah tak tenang di sana, jika tahu seperti apa Ibnu sekarang. Berangkat magrib. Pulang subuh. Bukan. Bukan dari masjid. Melainkan nongkrong gak karuan di pinggir jalan. Bermain domino lah. Remi. Atau karambol. Ia sudah lupa waktu. Lupa waktu sholat. Padahal dulu ayah selalu mewanti-wanti kami agar tak melalaikan kewajiban yang satu itu. Kata beliau, sholat adalah tiang agama. Jika sholatnya saja sudah jarang, maka kamu perusak agamamu.
Ibnu salah bergaul. Dan mungkin ini juga karena aku. Aku terlalu sibuk mencari uang untuk makan keluarga, aku lupa menyisakan sebagian waktu untuk memperhatikannya. Hasilnya kami semakin jauh, dan lebih jauh. Aku semakin tak mampu menjangkaunya. Satu-satunya hal yng masih dekat diantara kami adalah kamar. Jarak kamar kami masih tetap seperti dulu, seperti saat ayah masih ada. Ironis.
Sering kali aku mendengarnya membentak ibu, saat ibu tak bisa memberinya uang untuk rokok.
“Ibu tak punya uang nak, ini tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk makan besok,” terang ibu lembut
Tapi apa? Ibnu seakan tak mau tahu.
“Ya sudah, moga ajah gak punya uang beneran terus!” umpatnya yang disusul bunyi gebrakan pintu.

Ingin aku tampar wajahnya saat itu. Tapi aku tahan mati-matian. Untuk alasan apapun, aku tak bisa terima orang lain berkata kasar pada ibu. Tak terkecuali sekalipun dia adikku. Apalagi untuk urusan yang sepele macam rokok dan kawan-kawannya. Aku tak bisa mentolerirnya. Aku sudah capek mendengarnya bertingkah di luar sana. Dan aku terlalu lelah menceramahinya. Jadi kubiarkan saja. Tapi, aku tak bisa kalau harus terus-terusan melihatnya membentak ibu.
Sakit hatiku melihat perubahan drastisnya. Lebih sakit lagi mendengar ibu merajuk tiap malam mengelu-elukan namanya. Yah aku lupa, dia seorang ibu. Sesakit apapun hatinya diperalakukan kasar oleh anak-anaknya, dia tetap seorang ibu.. Pintu maafnya selalu menganga lebar. Lantunan doanya selalu tulus mengharap kebaikan anak-anaknya. paling tidak ibu, bisa sedikit lega. Ibnu tak pernah bermain perempuan. Ia juga tak pernah menyentuh alkohol seperti yang sering ku dengar dari bibir para tetangga. Ibu yakin, Ibnu hanya tersesat. Ia hanya butuh cahaya untuk tau arah yang benar.
Malam itu aku bertemu ayah. Beliau tidak marah. Beliau tersenyum padaku. Iya. Beliau tersenyum. “Bantulah adikmu kembali nduk, ia membutuhkanmu lebih dari sekedar nasihatmu.”
Dan benar. Ibu selalu benar. Ibnu hanya tersesat. Ia hanya butuh cahaya untuk tau arah yang benar. Akupun meyakininya. Jadi kuputuskan, biar aku jadi obor penerangnya. Atau sekedar lilin kecilnya yang temaram mengantarnya kembali pada surga ibu.


Pagi itu, ku lihat ibnu masih terlelap dalam tidurnya. Ibu masih sibuk berjualan di pasar. Namun teh hangat dan pisang goreng sudah ibu siapkan di atas meja. Ku ambilkan du potong pisang goreng dan segelas teh hangat. Kuantarkan ke kamarnya. Ibnu terbangun kaget. Bersiap-siap mengumpatiku yang masuk tiba-tiba. Tapi aku melemparkan senyum padanya.
“ini, ibu sudah membuatkanmu teh hangat dan pisang goreng,”
Aku tahu Ibnu heran. Heran karena jam segini aku masih di rumah. Heran karena tiba-tiba aku memilih merepotkan diri mengantarkan the dan pisang gorengnya kekamar. Dan yah.. apa yang harus ku harapkan? Ia akan langsung berubah karena itu? Mustahil. Ia malah menyuruhku menaruhna di atas radio. “biar ku minum nanti,” katanya. Jadi ku turuti saja.
Tiap hari. Ku lakukan itu tiap hari. Aku sengaja meminta ijin untuk masuk agak siang, agar bisa menghidupkan lilin-lilin untuk penghuni kamar sebelahku ini. Yang tak lain adalah adikku sendiri. Sudah kuputuskan, aku takkan meninggalkannya lagi dalam gelap. Aku akan membawa kembali, seperti pinta ayah. Seperti doa ibu. Aku tahu, apa yang kulalkuan ini belum apa-apa. Sekalipun sudah dua bulan lamanya, obrolanku dengannya tak lebih dari sekedar, “ iya taruh saja di situ,” , “tolong tutupkan pintunya,” atau  kata-kata kecil semacamnya. Tapi bagiku itu sudah kenajuan besar.
Sampai suatu malam, saat pulang kantor aku melihatnya di rumah. Menonton TV di ruang keluarga. Bolak-balik aku lirik jam tangan. Memastikan apakah jamku yang mati atau memang mataku yang salah. Pukul delapan malam. Benar. Ini baru pukul delapan. Tapi Ibnu ada di rumah. Keheranan aku di buatnya.
“Ibu kemana?” tanyanya.
Heran kuadrat. Ia bertanya ibu dimana. Hal yang tak pernah dilakukannya dua tahun belakangan ini.
“aku lapar, tapi tak ada yang bisa ku makan,” lanjutnya.
Sontak ku sodorkan bungkusan nasi padang di tanganku. “kau lapar? Ini, mbak tadi beli nasi padang di warung pak Amir. Makanlah. Ibu tak ada di rumah, mungkin ibu lupa memberitahumu tadi, ibu pergi ke rumah bu lek di desa seberang. Bu lek melahirkan.”
Ibnu menerima bungkusan itu, dan terburu-buru mengambil piring di dapur.
“Jangan lupa cuci tangan,” kataku.
“ kok cuma sebungkus? Mbak gak makan juga?”
“ Mbak sudah makan tadi di kantor, kamu makanlah.”
Aku bohong. Nasi itu sebenarnya untuk kumakan sendiri. Karena aku tak mengira Ibnu aka nada dirumah malam ini. Tapi melihatnya di rumah sudah cukup membuat rasa laparku hiang. Menguap entah kemana. Apalagi saat dia bilang dia lapar. Kalaupun aku punya dua bungkus aku rela memberikan untuknya semua. Aku sadar, sudah terlalu lama mebiarkannya sendiri. Dua puluh nasi padangpun takkan bisa menggantikan malam-malam yang terlewatkan tanpa kehadirannya.
Malam itu, Ibnu berbicara banyak. Katanya ia habis bertenu Bayu sahabat lamanya yang baru pulang merantau ke Jakarta.
“ Bayu sekarang sudah sukses mbak, Ia punya pondok pesantren di sana. Sekarang di pulang ke sini, dan ingin membangun langgar ngaji. “
Aku antusias mendengarkannya. Ini moment yang sudah lama tak pernah ku rasakan lagi. Selama ini aku sibuk dengan pekerjaanku. Dan ia sibuk dengan dunia luarnya. “oh, ya… ? katanya dia sudah punya anak, apa dia juga membawa pulang istri dan anaknya kemari?”
“ Belum mbak, katanya nanti setelah ia berhasil mendirikan langgar ngajinya di sini, baru ia akan menjemput anak istrinya,” Ibnu berhenti bercerita. Matanya tertunduk menatap lantai. Seperti sedang memikirkan sesuatu. “Bayu memintaku untuk mengajar di langgarnya, mbak”.
Hening.
Aku sibuk memilih kata-kata yang tepat untuk aku sampaikan padanya.
“Bayu tidak tahu, kalau aku bukan Ibnu yang dulu. Aku sekarang tidak layak lagi berteman dengan Bayu dan yang lainnya kan Mbak? Sholat saja aku sudah lupa. Bagaimana mungkin aku mengajari anak orang mengaji, sedangkan aku sendiri sudah lama tak membuka al-qur’an. Apa jadinya anak-anak itu nanti?” . “Masa mau ku ajari main remi?” lanjutnya sambil tertawa getir.
Aku rangkul dia dalam pelukanku. Rasanya begitu rindu aku padanya. Mendadak aku merasa jarak antara kami tak ada lagi. Dia bukan orang asing lagi. Dia adikku. Aku tahu, dia Ibnu, adikku. Seperti kata ayah, ia membutuhkanku lebih dari sekedar nasihatku. Yah.. itu yang selama ini belum aku lakukan. Selama ini aku hanya menasehatinya. Ahh.. bukan. Selama ini aku mengguruinya. Aku menceramahinya. Tapi tak pernah mau mendengarkannya. Air mataku menetes tak tertahan.
 “Kamu adik mbak. Kamu tetap adik mbak.” Ku tepuk bahunya untuk menenagkan kegalauannya. Di saat yang bersamaan ku rasakan bahuku basah oleh air matanya.

Hari berikutnya aku datang menemui Bayu. Menceritakan yang sebenarnya terjadi. Aku memintanya untuk terus membimbing adikku. Membimbingnya pulang ke jalan yang benar. Memintanya untuk menjadi lilin ke dua untuk Ibnu. Dan Bayu menyambut permintaanku dengan senang hati.
Empat Bulan berlalu. Ibnu sekarang sudah kembali seperti dulu. Tak ada lagi Ibnu yang berangkat magrib pulang subuh. Ia sekarang lebih banyak dirumah. Menemani ibu saat aku kerja. Mengaji. Bahkan menjadi Imam saat shat berjema’ah di rumah. Ibnu sudah kembali. Yah, dia benar-benar telah kembali. Tiap malam, kini aku tak pernah lagi mendengar ibu menangis karena mengeluhkan tingkah kasarnya, kini tiap malam ibu menangis penuh syukur atas rahmat-Nya.
Dari sini, aku melihat betapa sangat berpengaruhnya seorang teman. Saat kau bereman dengan orang yang baik, maka namamu akn ikut baik. Kau akan kecipratan kebaikan demi kebaikan. Begitu juga, kalau kau salah memilih teman, hasilnya juga akan FATAL.

Sudah hampir dua bulan lamanya ia mengajar ngaji di langgar Bayu. Rumah kami rasanya kembali seperti Istana. Tiap aku pulang kerja, ku lihat Ibnu dan Ibu sedang mengobrol santai di depan TV. Bahagia sekaligus haru dan lega. Aku merasa beban di pundakku telah hilang. “Ayah… aku berhasi membawa dia kembali.”

Hari ini peringatan seribu harinya ayah. Aku tak mau melewatkan malam ini. Di rumah sedang di gelar pengajian kecil-kecilan. Dan Ibnu yang akan memimpin do’a. Tak sabar ku kemudikan bebekku. karena kurang hati-hati aku menabrak sebuah truk sampah yang berhenti mendadak di depanku.

******
Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Ibu sedang memengang tangan seseorang yang terkulai pucat di ranjang pasien. Aku tak bisa mengenalinya dengan jelas. Wajahnya terhalang kepala ibu. Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak. Apakah itu Ibnu? Apa yang terjadi padanya? Buru–buru ku hampiri ibu. Beliau masih terisak. “sadarlah nak, sadarlah… ayo pulang bersama ibu, jangan tinggalkan ibu…” . Tiba-tiba Ibnu menabrakku dan masuk begitu saja dalam ruangan tanpa meminta maaf sedikitpun. Disaat yang lain aku akan menegornya, karena tindakannya itu. Tapi seketika aku bernafas lega Bukan Ibnu. Dia tidak apa-apa.
 “Maaf, kami sudah berusaha,” kata dokter paruh baya yang sedari tadi diam di samping pasien.
Ibnu mendekatkan bibirnya pada telinga pasien. Aku masih tak tahu itu siapa. Tak jelas pula apa yang ia bisikkan. Yang aku dengar hanya isakan Ibu. Menyiksa. Aku bingung. Sebenarnya siapa yang berbaring di sana? Ku hampiri mereka perlahan. Takut mengganggu.

Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Tapi saat itu aku tahu. Sudah tidak ada lagi yang bisa ku perbuat. Bahkan untuk sekedar menyeka air matanya. Jantungku berhenti berdetak saat melihat siapa yang terbaring pucat itu, yang tangannya ibu genggami dari tadi, yang Ibnu bisikkan Asma Allah tadi. Yah. Jantungku benar-benar berhenti berdetak.
 Aku sadar, tak ada lagi yang bisa ku perbuat, sekalipun berjuta inginku untuk itu. Aku ingin menyeka airmata ibu. Aku ingin merangkul Ibnu. Dan aku ingin memberi tahu ibu, bahwa aku ada di sana. Aku berdiri tepat disampingnya. Aku berada di antara mereka. Tak bisa kah kau lihat aku, bu…
Lalu yang ku lihat hanya ayah. Meranggul bahuku erat. Mengedarkan senyumnya. Sebelum mengajakku pergi dengannya. Ya. “Tugasku sudah usai,” katanya.







Pamekasan 19 Mei 2012
[ Setiap yang hidup, mengemban tugasnya sendiri-sendiri. Sudahkah kita mengembannya dengan baik? ] #Phie

Jumat, 18 Mei 2012

Today is 2.29


Today is 2.29


Pagi ini ( kalau sudah bisa disebut pagi ) sang surya belum berkenan membagi hangatnya pada dunia. Entah karena langit masih tertutup mendung atau apa. Ayam jago milik pak Harto pun belum pula terjaga saat aku beranjak pergi tadi. Aku melirik jam tanganku sekilas. Terang saja ini masih jam 4. Tapi tak apa. Jarak pasar dengan rumah lumayan jauh. Bisa makan waktu setengah sampai tiga per empat jam-an, kalau aku mengandalkan jasa becak.

Kau tahu? Agak susah menemukan Daisy di sini. Aku harus mengelilingi pasar berjam-jam. Menyusuri para pedagang-pedangang daging dan ikan. Memaksa tanganku mati-matian agar tak menutup hidungku yang gatal karena bau amis yang menusuk. Katamu itu tak sopan, jadi dengan langkah cepat aku hentakkan kaki agar cepat keluar dari kawasan itu. Kesalahan terbesarku adalah aku tak pandai menghafal letak suatu tempat, bahkan mengingat namanya saja aku tak mampu. Beruntung hari ini aku membawa telepon genggam, sehingga aku bisa menghubungi pedagang bunga langgananmu itu dan memintanya saja yang menemuiku. Karena sudah hampir satu jam lebih aku berputar-putar di tempat yang sama namun belum juga bisa menemukan posisinya.
Memang sudah lama aku tak kemari. Ah… sebenanya itu bukan alasan. Aku tak berani menjamin, kalaupun tiap hari aku mampir aku dapat mengingat tempat itu dengan benar, kau tahu kan betapa buruknya daya ingatku? Tapi lihat, aku tak pernah melupakan hari ini.
Semua bahan sudah ku dapat. Tepung, gula, telur, backing powder, vanili, bubuk coklat, dan yang lainnya. Hari ini aku akan membuat black forrest. Jangan keburu tertawa, tiga bulan lalu aku sudah mengikuti kursus masak diam-diam tanpa sepengetahuanmu. Paling tidak, aku ingin bisa membuat roti favoritmu ini. Aku memang belum ahli, tapi kau lihat saja, aku banyak kemajuan. Sekarang aku sudah bisa membedakan jahe dan lengkuas. Dua buah rempah yang selalu kau gunakan sebagai senjata untuk mengolok-ngolok kemampuan masakku, yang memang di bawah rata-rata.
Bagaimanapun rasanya nanti, kau harus berjanji akan menghabiskannya, karena aku membuatnya dengan cinta. Katamu itu yang terpenting, bukan? Tak peduli nasi yang ku masak gosong, telur yang ku buat keasinan, atau sayur asam itu mendadak berubah menjadi  sayur asin, kau tetap menghabiskannya dengan tersenyum. Kali ini juga, yah? Tapi tenang saja, aku pasti membuatnya dengan sepenuh hati. Ini kue tart buatanku yang pertama. Aku takkan membuatmu kecewa Mas. Kau tunggu saja di sana.
Lihat ini sudah jam berapa?
Jam dinding yang kau taruh di samping rak piring mencibirku. Katanya aku takkan bisa sampai tepat waktu.  Sayang sekali aku belum berhasil menemukan dimana kau meletakkan tangga lipatmu. Sudah ku cari di gudang. Garasi. Tapi tak ada. Kamu membeli rumah yang terlau besar. Kalau saja aku bisa menjangkaunya dengan tangan sudah ku copot baterainya dari tadi. Ahh… berpikir apa aku ini! Kalau terus meracau seperti ini, kue-mu yang baru ku masukkan dalam oven ini, benar-benar takkan selesai tepat waktu.
Ku stel oven pada suhu yang tertera di resep. Aku harus tetap menyontek resep di buku masakan kalau mau kue tart-mu ini berhasil.
Hemm… maklumilah istrimu yang tak tahu masak ini Mas,” bisikku dalam hati.
Ku tinggalkan tart-mu dalam oven sembari mematut diri. Yah aku ingin kau melihat aku tampil cantik hari ini.  Ku pakai gaun yang kau belikan khusus untuk hari kita ini. Sekarang, aku mulai mengerti kenapa kau memilih warna ini.
Hei, kue tart-mu selesai tepat waktu. Sudah ku hiasi juga dengan taburan coklat blok. Tahu tidak? Jam dindingmu cemberut saat ku pamerkan kue itu padanya. Mungkin dia iri. Tapi aku tahu, dia juga senang. Kau kan, majikan yang baik, dia juga tentu menginginkan yang terbaik di hari istimewa ini. Aku tahu itu.
Semuanya sudah siap. Kue tart dan Daisy kesayanganmu. Parfum jasmine yang kau belikan untukku juga sudah ku semprotkan pada tubuh. Aku masih tak habis pikir, kau suka sekali pada Daisy, tapi selalu menghadiahkanku parfum beraroma jasmine.
Seperti biasanya saat ku tanya kenapa…, kau akan menjawab dengan menggombal: “Kamu salah sayang, aku suka Daisy, but I love Jasmine,” lalu medaratkan ciuman mesra di keningku. Membuatku semakin salah tingkah dan berhenti bertanya-tanya.

*****
Pukul 16.39.
Akhirnya tiba di tempatmu.

“ Kau datang juga,”
 “Iya Pa, maaf terlambat ” jawabku sambil mencium tangannya.
“Tak apa Yas, Tak terlambat sama sekali. Lihat apa yang kau bawa itu... Daisy yah?”
Aku hanya mengangguk.
“Saya masuk dulu Pa,” Pamitku.

Langit masih mendung diselimuti awan. Hanya ada suara rumput. Bergesekan  dengan gaun ungu yang ku kenakan. Benar-benar Sabtu yang sepi.

“Maaf aku terlambat sembilan menit, dari yang seharusnya. Tadi aku sempat berpapasan dengan papa di pintu gerbang. Aku rasa papa tak melihat kue tart yang ku bawa ini Mas, atau mungkin beliau pura-pura tak melihatnya. Aku tak tahu, tadi beliau tak menanyakan apa-apa tentang kue ini. Beliau hanya menanyakan bunga Daisy yang ku bawa ini.”
Ku bersihkan tempat disekitarku dengan sapu tangan. Banyak debu di sana. Jelas saja, ini sudah purnama ke enam. Dan sejak hari itu, kau memintaku untuk tak mengunjungimu dulu, sebelum hari ini tiba, katamu itu demi kebaikanku.
Aku mencoba mengerti. Memang ada saja caramu untuk membuatku bingung sekaligus mengerti di saat yang nyaris bersamaan. Sebenarnya berat memenuhi permintaanmu kali itu mas, berat sekali. berkali-kali aku tergoda untuk menemuimu. Tapi berkali-kali pula ku paksakan hati dan nalarku. Aku hanya takut orang lain beranggapan aku tak menyayangimu lagi. Atau lebih parah, mereka berpikir aku ini istri durhaka, tapi katamu, istri yang baik patuh pada suami. Kau selalu menguatkanku.
“Ah… Biar bunganya ku letakkan di sini saja yah. Begini lebih bagus.”
Lalu ku letakkan bunga itu di vas bunga yang berdiri di samping namanya.

“Ini kue tart pertama kita, aku membuatnya sendiri. Mas tau, aku tak pandai memasak, tapi tadi sudah ku cicipi, rasanya lumayan.”.

“Jangan menggodaku lagi, aku sudah banyak kemajuan dalam hal dapur sekarang. Lihat, aku juga membawa jahe dan lengkuas, agar kau percaya,” ku rogoh isi kantongku.
“Ini Jahe” ucapku sembari meyodorinya jahe.  “Yang ini lengkuas.”
Dari aromanya saja, kau akan langsung bisa membedakannya sayang,” ucapmu sabar tiap kali aku kebingungan membedakannya. Yah., aku sudah bisa membedakannya sekarang mas, dengan sekali saja membaunya.

“Biar ku hidupkan lilinnya. Sebaiknya angka berapa yang harus ku pasang? Ah… kita tiup lilinnya dua kali saja yah. Seperti tahun lalu. “
Ini sudah tiga bulan lebih mas, tapi sekalipun aku tak pernah melupakanmu dalam malam-malamku. Aku rindu. Ingin bertemu. Tapi kau bilang, tunggu sampai hari ini. Dan aku hanya bisa patuh.
“Tahun lalu kita merayakan ini dengan meriah di rumah. Mengundang sanak family dan rekan kerja mas. Aku  masih ingat betul seusai perayaan, saat tamu-tamu sudah pulang, kita terus berbincang di teras rumah. Memperbincangkan tentang malam itu, tentang kemesraan para tamu yang dating, yang tampaknya tak mau kalah dengan kita. Memandangi taburan bintang di langit. Meresapi wangi Daisy yang merebak memenuhi ruang tengah. Kita juga membicarakan hari ini. Mas berniat untuk merayakannya seperti tahun lalu lagi, bukan?”

“ Tahun depan kita rayakan lagi yah ,”
“Gede-gedean seperti ini mas?”
“He’em… kenapa? Kamu ndak suka?” tanyamu antusias.
 “Suka mas, mana mungkin aku tak suka. Kau menghujaniku dengan cinta malam ini. Cinta yang begitu besar. Tapi kalau tiap tahun seperti ini, kan mubadzir mas. Mending uangnya kita sumbangkan ke panti asuhan.”
“Kalau yang ke panti asuhan, itu sudah ada anggarannya sendiri sayang. Kamu ndak perlu khawatir,” jawabmu penuh kasih sayang.
“Tapi aku mau, tahun depan kita ngerayainnya berdua saja mas. Gak perlu besar-besaran.”
“Boleh… nanti kita rayakan berdua saja. Tapi ada syaratnya, mas mau, black forrest-nya kamu yang bikin.”
Aku hanya bisa mencubit dadamu dengan gemas.

Lalu kita berdua tergelak. Karena saat itu, Jangankan untuk mebuat kue tart kesukaannya. Menanak nasi untuk sarapan paginya saja, masih sering gosong.

“Maafin aku mas, tahun ini kita merayakan ini dengan sangat sederhana. Tapi seperti yang mas mau, kita merayakannya berdua saja. Dan black forrest-nya buatanku sendiri. Semoga Mas suka ya…”

 “Selamat anniversary ya Mas… . Maaf kalau selama ini belum bisa membahagiakan mas dengan sebagaimana mestinya. Maaf, kalau selama ini mas harus sarapan dengan menu yang jauh dari harapan. Tapi mas tak pernah mengeluh. Malah tersenyum hangat.”
“ Asalkan bersamamu, apapun menjadi tujuh kali lebih nikmat dari biasanya,” bisikmu.
Lilin angka 2, sudah padam. Tertiup angin.
Jadi ku tancapkan lagi satu angka di belakangnya. Angka Sembilan.
29. Ini usianya yang ke dua puluh sembilan.
Ku pejamkan mata, dan berdoa. “Selamat ulangtahun mas,” batinku.
Saat aku buka mata, lilinnya sudah padam di sapu gerimis.

Yasmin, ayo sudah hampir gelap Nak, ini juga sudah gerimis. Sepertinya mau hujan besar. Sebaiknya kamu ikut Papa pulang.” Ku dengar teriakan Papa, samar-samar dari seberang.
Rupanya papamu belum pula pulang mas.
“Iya Pa, Sebentar, ” Sahutku setengah berteriak agar suaraku terdengar olehnya, namun juga tak mengganggumu.

Sejenak ku selesaikan doaku untuknya.

“Aku pamit dulu mas,”ujarku sembari beranjak dari tempat dudukku.

Hari semakin gelap, dan langit menumpahkan butiran-butiran airnya dalam volume yang semakin besar. Mengahadirkan bau tanah. Salah satu sensasi hujan yang kau suka. Benar-benar sabtu yang sepi. Sepi. Yah… Sepi. Aku percepat langkahku. Tapi harum bunga Daisy kesayanganmu samar-samar masih tercium inderaku.
Ada yang terlewatkan. Aku berbalik. Menuju tempatmu lagi.

“Aku lupa mas, Pak Anwar menitipiku salam untukmu. Tadi dia memberikan bunganya ini cuma-cuma saat aku bilang hari ini ulang tahunmu. Aku sudah memaksanya untuk menerima uang itu. Tapi beliau tetap menolak. Katanya itu hadiah darinya.  Beliau juga mendoakan mas, semoga mas tenang di surgaNya.”






                                                                                  Pamekasan, 18 Mei 2012
                                                                                  #Phie