Sabtu, 19 Mei 2012

TUGAS [Sebelum Waktuku]


TUGAS [Sebelum Waktuku]



Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Ibu, satu-satunya orang yang masih ku punya, selain Ibnu adikku yang memang sudah jarang pulang. Ia terlalu sibuk dengan urusan kerjanya. Ya urusan dinas. Dinas yang mengharuskannya untuk selalu pulang pagi. Dan mati di siang hari. Tiap hari seperti roda yang kehilangan kemudi. Ia hanya datang untuk merebahkan diri di kamar sebelahku. Dan keluar kamar untuk pergi lagi. Datang dan pergi sesuka hati.
Rumah kami sempit. Hanya ada tiga kamar di sana. Dahulu saat ayah masih ada, rumah kecil ini layaknya istana. Kami selalu bercanda ria. Rumah ini seakan hidup. Bercerita tentang sejarah keluargaku, saat namaku saja belum direncanakan. Tiap maghrib seusai shalat jema’ah kami berbincang-bincang di halaman depan rumah.
Ayah menceritakan tentang pekerjaannya di kantor tiap hari. Katanya, bekerja mencari nafkah adalah kewajiban bagi seorang laki-laki. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anak dan istrinya pula. Ada saja wejangan yang ayah sampaikan tiap sore harinya. Aku selalu antusias menunggu saat itu tiba, berbiincang dengan ayah seperti mengisi bahan bakar hati. Seolah mendapat kultum penyejuk batin.
Pernah, di suatu sore ayah berpesan padaku. Beliau meminta padaku untuk baik-baik pada ibu. Surga seorang anak ada di telapak kaki seorang ibu, maka dekatkanlah dirimu dengan surgamu, lanjutnya. Jaga adikmu Ibnu, dia masih muda, mudah diombang-ambingkan hidup.
Mungkin saat itu ayah lupa, bahwa usiaku juga baru menginjak 20, dan adik 18. Kami hanya berselisih 2 tahun kurang. Tapi ternyata tidak. Ayah tidak lupa itu. Pesan itu beliau maksudkan untuk diriku pula. Agar aku menjaga Ibnu, sekaligus menjaga diriku. Yah.. ayah tidak lupa usiaku. Ayah hanya lupa, lupa memberitahuku bahwa itu adalah kuliah terakhirnya. Bahwa itu adalah wasiatnya.

Aku tahu, ibu rindu pada ayah. Walau 2 tahun telah berlalu, bibirnya selalu basah menyebut nama ayah dalam tiap doa-doanya. Matanya masih saja mengguratkan kerinduan akan sosok ayah yang bijaksana. Aku tahu ibu rindu. Tapi beliau tetap berusaha tegar di depan kami anak-anaknya.

“Bagaimana bisa aku melewati semua ini tanpamu, Yah…” isak ibu suatu malam.
Malam yang dingin. Kain panjang yang biasa ku pakai sebagai selimut tak mampu menghangatkan tubuh. Ini bukan kali pertama aku mendengar ibu berdoa demikian di tengah malam. Ini sudah malam-malam yang kesekian, sejak Ibnu berubah menjadi tak terkendali. Sebagai kakak, aku gagal menjaganya. Aku gagal mengemban wasiat ayah.
Sebenarnya tiap malam aku selalu dihantui perasaan bersalah. Hanya saja tak tahu bagaimana harus mengenyahkannya. Aku takut ayah tak tenang di sana, jika tahu seperti apa Ibnu sekarang. Berangkat magrib. Pulang subuh. Bukan. Bukan dari masjid. Melainkan nongkrong gak karuan di pinggir jalan. Bermain domino lah. Remi. Atau karambol. Ia sudah lupa waktu. Lupa waktu sholat. Padahal dulu ayah selalu mewanti-wanti kami agar tak melalaikan kewajiban yang satu itu. Kata beliau, sholat adalah tiang agama. Jika sholatnya saja sudah jarang, maka kamu perusak agamamu.
Ibnu salah bergaul. Dan mungkin ini juga karena aku. Aku terlalu sibuk mencari uang untuk makan keluarga, aku lupa menyisakan sebagian waktu untuk memperhatikannya. Hasilnya kami semakin jauh, dan lebih jauh. Aku semakin tak mampu menjangkaunya. Satu-satunya hal yng masih dekat diantara kami adalah kamar. Jarak kamar kami masih tetap seperti dulu, seperti saat ayah masih ada. Ironis.
Sering kali aku mendengarnya membentak ibu, saat ibu tak bisa memberinya uang untuk rokok.
“Ibu tak punya uang nak, ini tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk makan besok,” terang ibu lembut
Tapi apa? Ibnu seakan tak mau tahu.
“Ya sudah, moga ajah gak punya uang beneran terus!” umpatnya yang disusul bunyi gebrakan pintu.

Ingin aku tampar wajahnya saat itu. Tapi aku tahan mati-matian. Untuk alasan apapun, aku tak bisa terima orang lain berkata kasar pada ibu. Tak terkecuali sekalipun dia adikku. Apalagi untuk urusan yang sepele macam rokok dan kawan-kawannya. Aku tak bisa mentolerirnya. Aku sudah capek mendengarnya bertingkah di luar sana. Dan aku terlalu lelah menceramahinya. Jadi kubiarkan saja. Tapi, aku tak bisa kalau harus terus-terusan melihatnya membentak ibu.
Sakit hatiku melihat perubahan drastisnya. Lebih sakit lagi mendengar ibu merajuk tiap malam mengelu-elukan namanya. Yah aku lupa, dia seorang ibu. Sesakit apapun hatinya diperalakukan kasar oleh anak-anaknya, dia tetap seorang ibu.. Pintu maafnya selalu menganga lebar. Lantunan doanya selalu tulus mengharap kebaikan anak-anaknya. paling tidak ibu, bisa sedikit lega. Ibnu tak pernah bermain perempuan. Ia juga tak pernah menyentuh alkohol seperti yang sering ku dengar dari bibir para tetangga. Ibu yakin, Ibnu hanya tersesat. Ia hanya butuh cahaya untuk tau arah yang benar.
Malam itu aku bertemu ayah. Beliau tidak marah. Beliau tersenyum padaku. Iya. Beliau tersenyum. “Bantulah adikmu kembali nduk, ia membutuhkanmu lebih dari sekedar nasihatmu.”
Dan benar. Ibu selalu benar. Ibnu hanya tersesat. Ia hanya butuh cahaya untuk tau arah yang benar. Akupun meyakininya. Jadi kuputuskan, biar aku jadi obor penerangnya. Atau sekedar lilin kecilnya yang temaram mengantarnya kembali pada surga ibu.


Pagi itu, ku lihat ibnu masih terlelap dalam tidurnya. Ibu masih sibuk berjualan di pasar. Namun teh hangat dan pisang goreng sudah ibu siapkan di atas meja. Ku ambilkan du potong pisang goreng dan segelas teh hangat. Kuantarkan ke kamarnya. Ibnu terbangun kaget. Bersiap-siap mengumpatiku yang masuk tiba-tiba. Tapi aku melemparkan senyum padanya.
“ini, ibu sudah membuatkanmu teh hangat dan pisang goreng,”
Aku tahu Ibnu heran. Heran karena jam segini aku masih di rumah. Heran karena tiba-tiba aku memilih merepotkan diri mengantarkan the dan pisang gorengnya kekamar. Dan yah.. apa yang harus ku harapkan? Ia akan langsung berubah karena itu? Mustahil. Ia malah menyuruhku menaruhna di atas radio. “biar ku minum nanti,” katanya. Jadi ku turuti saja.
Tiap hari. Ku lakukan itu tiap hari. Aku sengaja meminta ijin untuk masuk agak siang, agar bisa menghidupkan lilin-lilin untuk penghuni kamar sebelahku ini. Yang tak lain adalah adikku sendiri. Sudah kuputuskan, aku takkan meninggalkannya lagi dalam gelap. Aku akan membawa kembali, seperti pinta ayah. Seperti doa ibu. Aku tahu, apa yang kulalkuan ini belum apa-apa. Sekalipun sudah dua bulan lamanya, obrolanku dengannya tak lebih dari sekedar, “ iya taruh saja di situ,” , “tolong tutupkan pintunya,” atau  kata-kata kecil semacamnya. Tapi bagiku itu sudah kenajuan besar.
Sampai suatu malam, saat pulang kantor aku melihatnya di rumah. Menonton TV di ruang keluarga. Bolak-balik aku lirik jam tangan. Memastikan apakah jamku yang mati atau memang mataku yang salah. Pukul delapan malam. Benar. Ini baru pukul delapan. Tapi Ibnu ada di rumah. Keheranan aku di buatnya.
“Ibu kemana?” tanyanya.
Heran kuadrat. Ia bertanya ibu dimana. Hal yang tak pernah dilakukannya dua tahun belakangan ini.
“aku lapar, tapi tak ada yang bisa ku makan,” lanjutnya.
Sontak ku sodorkan bungkusan nasi padang di tanganku. “kau lapar? Ini, mbak tadi beli nasi padang di warung pak Amir. Makanlah. Ibu tak ada di rumah, mungkin ibu lupa memberitahumu tadi, ibu pergi ke rumah bu lek di desa seberang. Bu lek melahirkan.”
Ibnu menerima bungkusan itu, dan terburu-buru mengambil piring di dapur.
“Jangan lupa cuci tangan,” kataku.
“ kok cuma sebungkus? Mbak gak makan juga?”
“ Mbak sudah makan tadi di kantor, kamu makanlah.”
Aku bohong. Nasi itu sebenarnya untuk kumakan sendiri. Karena aku tak mengira Ibnu aka nada dirumah malam ini. Tapi melihatnya di rumah sudah cukup membuat rasa laparku hiang. Menguap entah kemana. Apalagi saat dia bilang dia lapar. Kalaupun aku punya dua bungkus aku rela memberikan untuknya semua. Aku sadar, sudah terlalu lama mebiarkannya sendiri. Dua puluh nasi padangpun takkan bisa menggantikan malam-malam yang terlewatkan tanpa kehadirannya.
Malam itu, Ibnu berbicara banyak. Katanya ia habis bertenu Bayu sahabat lamanya yang baru pulang merantau ke Jakarta.
“ Bayu sekarang sudah sukses mbak, Ia punya pondok pesantren di sana. Sekarang di pulang ke sini, dan ingin membangun langgar ngaji. “
Aku antusias mendengarkannya. Ini moment yang sudah lama tak pernah ku rasakan lagi. Selama ini aku sibuk dengan pekerjaanku. Dan ia sibuk dengan dunia luarnya. “oh, ya… ? katanya dia sudah punya anak, apa dia juga membawa pulang istri dan anaknya kemari?”
“ Belum mbak, katanya nanti setelah ia berhasil mendirikan langgar ngajinya di sini, baru ia akan menjemput anak istrinya,” Ibnu berhenti bercerita. Matanya tertunduk menatap lantai. Seperti sedang memikirkan sesuatu. “Bayu memintaku untuk mengajar di langgarnya, mbak”.
Hening.
Aku sibuk memilih kata-kata yang tepat untuk aku sampaikan padanya.
“Bayu tidak tahu, kalau aku bukan Ibnu yang dulu. Aku sekarang tidak layak lagi berteman dengan Bayu dan yang lainnya kan Mbak? Sholat saja aku sudah lupa. Bagaimana mungkin aku mengajari anak orang mengaji, sedangkan aku sendiri sudah lama tak membuka al-qur’an. Apa jadinya anak-anak itu nanti?” . “Masa mau ku ajari main remi?” lanjutnya sambil tertawa getir.
Aku rangkul dia dalam pelukanku. Rasanya begitu rindu aku padanya. Mendadak aku merasa jarak antara kami tak ada lagi. Dia bukan orang asing lagi. Dia adikku. Aku tahu, dia Ibnu, adikku. Seperti kata ayah, ia membutuhkanku lebih dari sekedar nasihatku. Yah.. itu yang selama ini belum aku lakukan. Selama ini aku hanya menasehatinya. Ahh.. bukan. Selama ini aku mengguruinya. Aku menceramahinya. Tapi tak pernah mau mendengarkannya. Air mataku menetes tak tertahan.
 “Kamu adik mbak. Kamu tetap adik mbak.” Ku tepuk bahunya untuk menenagkan kegalauannya. Di saat yang bersamaan ku rasakan bahuku basah oleh air matanya.

Hari berikutnya aku datang menemui Bayu. Menceritakan yang sebenarnya terjadi. Aku memintanya untuk terus membimbing adikku. Membimbingnya pulang ke jalan yang benar. Memintanya untuk menjadi lilin ke dua untuk Ibnu. Dan Bayu menyambut permintaanku dengan senang hati.
Empat Bulan berlalu. Ibnu sekarang sudah kembali seperti dulu. Tak ada lagi Ibnu yang berangkat magrib pulang subuh. Ia sekarang lebih banyak dirumah. Menemani ibu saat aku kerja. Mengaji. Bahkan menjadi Imam saat shat berjema’ah di rumah. Ibnu sudah kembali. Yah, dia benar-benar telah kembali. Tiap malam, kini aku tak pernah lagi mendengar ibu menangis karena mengeluhkan tingkah kasarnya, kini tiap malam ibu menangis penuh syukur atas rahmat-Nya.
Dari sini, aku melihat betapa sangat berpengaruhnya seorang teman. Saat kau bereman dengan orang yang baik, maka namamu akn ikut baik. Kau akan kecipratan kebaikan demi kebaikan. Begitu juga, kalau kau salah memilih teman, hasilnya juga akan FATAL.

Sudah hampir dua bulan lamanya ia mengajar ngaji di langgar Bayu. Rumah kami rasanya kembali seperti Istana. Tiap aku pulang kerja, ku lihat Ibnu dan Ibu sedang mengobrol santai di depan TV. Bahagia sekaligus haru dan lega. Aku merasa beban di pundakku telah hilang. “Ayah… aku berhasi membawa dia kembali.”

Hari ini peringatan seribu harinya ayah. Aku tak mau melewatkan malam ini. Di rumah sedang di gelar pengajian kecil-kecilan. Dan Ibnu yang akan memimpin do’a. Tak sabar ku kemudikan bebekku. karena kurang hati-hati aku menabrak sebuah truk sampah yang berhenti mendadak di depanku.

******
Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Ibu sedang memengang tangan seseorang yang terkulai pucat di ranjang pasien. Aku tak bisa mengenalinya dengan jelas. Wajahnya terhalang kepala ibu. Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak. Apakah itu Ibnu? Apa yang terjadi padanya? Buru–buru ku hampiri ibu. Beliau masih terisak. “sadarlah nak, sadarlah… ayo pulang bersama ibu, jangan tinggalkan ibu…” . Tiba-tiba Ibnu menabrakku dan masuk begitu saja dalam ruangan tanpa meminta maaf sedikitpun. Disaat yang lain aku akan menegornya, karena tindakannya itu. Tapi seketika aku bernafas lega Bukan Ibnu. Dia tidak apa-apa.
 “Maaf, kami sudah berusaha,” kata dokter paruh baya yang sedari tadi diam di samping pasien.
Ibnu mendekatkan bibirnya pada telinga pasien. Aku masih tak tahu itu siapa. Tak jelas pula apa yang ia bisikkan. Yang aku dengar hanya isakan Ibu. Menyiksa. Aku bingung. Sebenarnya siapa yang berbaring di sana? Ku hampiri mereka perlahan. Takut mengganggu.

Aku melihat ibu menangis. Ahh.. semacam ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Tapi saat itu aku tahu. Sudah tidak ada lagi yang bisa ku perbuat. Bahkan untuk sekedar menyeka air matanya. Jantungku berhenti berdetak saat melihat siapa yang terbaring pucat itu, yang tangannya ibu genggami dari tadi, yang Ibnu bisikkan Asma Allah tadi. Yah. Jantungku benar-benar berhenti berdetak.
 Aku sadar, tak ada lagi yang bisa ku perbuat, sekalipun berjuta inginku untuk itu. Aku ingin menyeka airmata ibu. Aku ingin merangkul Ibnu. Dan aku ingin memberi tahu ibu, bahwa aku ada di sana. Aku berdiri tepat disampingnya. Aku berada di antara mereka. Tak bisa kah kau lihat aku, bu…
Lalu yang ku lihat hanya ayah. Meranggul bahuku erat. Mengedarkan senyumnya. Sebelum mengajakku pergi dengannya. Ya. “Tugasku sudah usai,” katanya.







Pamekasan 19 Mei 2012
[ Setiap yang hidup, mengemban tugasnya sendiri-sendiri. Sudahkah kita mengembannya dengan baik? ] #Phie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar